24 December 2012

Selamat Natal, Arin!

"Selamat Natal ya Rin", ucap Madin kepada Arin, seorang protestan teman kuliahnya. "Makasih ya Mad, semoga Tuhan mengasihimu selalu", Arin membalas. "Aamiin", gumam Madin dalam hati sambil tersenyum. Di sore itu, Arin lebih dulu naik bus pergi ke Gereja untuk ikut Misa. Madin masih duduk di halte kampus membuka-buka buku catatan kuliah yang baru saja dipinjamnya dari Arin. Sesaat kemudian, datanglah Kuro, temannya yang biasa mengenakan peci putih dengan jidatnya yang hitam, baju koko, tas kecil yang menggantung di pinggang, celana menjuntai di atas mata kaki, serta sandal gunung merk eiger, tiba-tiba bilang, "Kafir kamu Mad! Murtad kau Mad! Darahmu halal!". Rupanya Kuro diam-diam memperhatikan percakapan Madin dan Arin dari tadi. Kasihan si Madin. Hanya karena mengucapkan selamat natal, serta-merta dicap kafir. Padahal yang paling berhak mengkafirkan dan memurtadkan adalah Tuhan. Dan Tuhan sendiri, untuk mengkafirkan dan memurtadkan hambaNya, memiliki banyak pertimbangan kasih dan sayang. Wallaahu A'lam. []

07 December 2012

Dilalah (Penanda) dalam Ilmu Mantiq (Logika)

Oleh: Moh. Hadi Bakri Raharjo


Pembahasan dilâlah (penanda) dalam ilmu mantiq merupakan salah satu hal yang penting. Karena lafadz (kata) --dalam pembahasan ilmu mantiq-- tidak dapat dipahami artinya kecuali dengan adanya dilâlah yang menunjukkan makna dari lafadz tersebut.

Pengertian Dilâlah
Dilâlah (penanda) dalam bahasa arab al-Dilâlah jika diartikan dari sisi etimologi adalah al-Hidâyah (petunjuk). Sedangkan menurut istilah, dilâlah merupakan suatu proses pencarian makna dari al-dâl (penunjuk) kepada al-madlûl (objek yang ditunjuk). Maka diharapkan dengan adanya al-dâl (penunjuk), pikiran manusia berangkat kepada al-madlûl(objek yang ditunjuk) sehingga dapat mengetahui hakikat dari hal yang ditunjukkan oleh dilâlahtersebut. Para pakar ilmu mantiq kemudian mendefinisikan dilâlah ini dengan “fahmu amrin min amrin”, memahami/paham suatu hal dengan (perantara) suatu hal.

Pembagian Dilâlah
Dilâlah dibagi menjadi dua: dilâlah lafdziyah (suara) dan dilâlah ghoiru lafdziyah (non-suara). Kemudian masing-masing bagian dibagi menjadi tiga bagian: wadl’iyah (non-alami), aqliyah (rasional) dan thabi’iyah (alami/natural). Berikut ini adalah pembagian dilâlah beserta contoh-contohnya:

A. Dilâlah Ghoiru Lafdziyah (Penanda bersifat non-suara), dibagi tiga:
1. Dilâlah Ghoiru Lafdziyah Aqliyah (Penanda bersifat non-suara yang rasional). Contoh: adanya bekas menunjukkan bahwa ada yang membekasi. Dianggap rasional/masuk akal karena adanya kausalitas atau hubungan sebab-akibat. Misal, bekas jejak langkah pada tanah menunjukkan adanya orang yang berjalan melewatinya.
2. Dilâlah Ghoiru Lafdziyah Thabi’iyah (Penanda bersifat non-suara yang alami/natural atau menurut kebiasaan). Contoh: Meningkatnya suhu badan menandakan sakit demam. Dianggap alami/natural karena berangkat dari unsur kebiasaan yang alami.
3. Dilâlah Ghoiru Lafdziyah Wadl’iyah (Penanda bersifat non-suara yang non-alami atau dengan unsur kesengajaan). Contoh: rambu lalu lintas bergambar anak panah yang menunjukkan arah jalan. Rambu lalu lintas dibuat oleh manusia dengan unsur kesengajaan (wadl’iyah) serta tidak berupa suara (ghoiru lafdziyah).

B. Dilâlah Lafdziyah (Penanda bersifat suara), dibagi tiga:
1. Dilâlah Lafdziyah Aqliyah (Penanda bersifat suara yang rasional). Contoh: Orang yang berbicara dibalik dinding menunjukkan bahwa orang tersebut hidup.
2. Dilâlah Lafdziyah Thabi’iyah (Penanda bersifat suara yang alami/natural atau menurut kebiasaan). Contoh: Suara batuk yang menunjukkan bahwa orang yang batuk itu sedang sakit dada. Dilâlah ini berangkat dari unsur kebiasaan.
3. Dilâlah Lafdziyah Wadl’iyah (Penanda bersifat suara yang non-alami atau dengan unsur kesengajaan). Contoh: Manusia adalah dari jenis makhluk hidup yang berbicara/berpikir (al-insân huwa al-hayawân al-nâthiq).

Dilâlah Lafdziyah Wadl’iyah
Dalam pembahasan ilmu mantiq, yang dititik-beratkan dan dibahas secara mendalam adalah pembahasan dilâlah lafdziyah wadl’iyah. Karena tema-tema pembahasannya yang dianggap menentu, baik berupa tashawur (pemetaan) yang bertengger pada al-ta’rîf (definisi) ataupun tashdiq (ratifikasi) yang capaiannya adalah al-hujjah (argumen).

Sedangkan macam dilâlah selain yang lafdziyah wadl’iyah ini tidak dibahas secara mendalam dan hanya disebutkan sebagai bagian dari dilâlah saja. Karena dalam pembahasan-pembahasannya terdapat banyak kemungkinanyang tidak menentu, banyaknya perbedaan persepsi serta kebiasaan. Misalnya pada contoh dilâlah lafdziyah aqliyah di atas, suara orang yang berbicara dibalik tembok belum tentu suara orang yang hidup, karena bisa saja suara tersebut suara radio dan sebagainya.

Unsur Dilâlah
Dilâlah memiliki dua unsur: al-dâl (penunjuk) dan al-madlûl (objek yang ditunjuk). Misal, al-insân al-hayawân al-nâthiq, manusia adalah jenis makhluk hidup yang berbicara/berpikir. Al-insân (manusia) adalah al-dâl (penunjuk) dan al-hayawân al-nâthiq (makhluk hidup yang berbicara/berpikir) adalah al-madlûl (objek yang ditunjuk).

Pembagian Dilâlah Lafdziyah Wadl’iyah
Dilâlah Lafdziyah Wadl’iyah dibagi menjadi tiga macam:
1. Al-Dilâlah Al-Muthâbaqiyah (Penanda yang bersifat kesesuaian), adalah dilâlah terhadap lafadz atas maknanya secara menyeluruh yang merupakan (kesesuaian) terma lafadz tersebut. Misal: dilâlah-nya al-insân terhadap al-hayawân al-nâthiq, atau dilâlah-nya al-faros (kuda) terhadap al-hayawân al-shâhil (makhluk hidup yang meringkik). Lafadz al-insân menunjukkan makna secara menyeluruh atas makna dari lafadz al-hayawân al-nâthiq. Begitu pula dengan al-faros, menunjukkan makna secara keseluruhan atas lafadz al-hayawân al-shâhil.
2. Al-Dilâlah Al-Tadhammuniyah (Penanda yang bersipat cakupan), adalah dilâlah terhadap lafadz atas sebagian maknanya (tidak menyeluruh) yang merupakan bagian dari terma lafadz tersebut. Misal: dilâlah-nya al-bayt (rumah) terhadap al-jidâr (dinding), dan al-insân (manusia)terhadap al-nâthiq (berbicara/berpikir). Jadi, dengan adanya al-bayt (rumah) menunjukkan adanya al-jidâr (dinding), begitupun dengan al-insân (manusia) menunjukkan al-nâthiq (berbicara/berpikir).
3. Al-Dilâlah Al-Iltizâmiyah (Penanda yang bersifat keharusan), adalah dilâlah terhadap lafadz yang berada di luar makna yang harus ada dan disandarkan atau disematkan pada dilâlah tersebut. Misal: dilâlah-nya al-insân (manusia) terhadap qâbilun lil al-‘ilm (menerima pengetahuan) atau terhadap al-dlâhik (tertawa) yang harus ada dan disandarkan atau disematkan kepada lafadz al-insân (manusia).[]


Sumber: 
Al-Tadzhîb Syarh Al-Khubaishî ‘Alâ Tahdzîbil Manthiq Li Al-Taftâzânî

12 November 2012

Pada Malam

Pada malam
Pikiran berseberangan
Bayangan saling berpapasan
Khayalan datang pergi bergantian
Pada malam
Rindu tak tertahankan
Keinginan menderitakan badan
Angan-angan masuk dalam impian
Pada malam
Cinta terpendam
Kasih tak bisa tercurahkan
Rasa sayang dikekang dalam perasaan
Pada malam
Bumi diterangi bulan
Langit penuh gemerlap bintang
Tapi malam hanya bisa diam

Hadaek el-Qubba, 12/11/12

30 October 2012

Sumpah Pemuda

Selama ratusan tahun, Kerajaan Protestan Belanda menjajah bangsa Indonesia. Memeras hasil kekayaan alam dan sumberdaya manusia dengan semena-mena untuk dinikmati olehnya sendiri serta dibawa pulang ke Belanda, sedangkan bangsa Indonesia sebagai pribumi tidak bisa menikmatinya dengan leluasa. Layaknya orang yang teraniaya, rakyat Indonesia tentunya berusaha melawan kejahatan itu dengan sekuat tenaga. Namun perlawanan itu sia-sia karenakurangnya kekuatan. Kalaupun berhasil, itu tidak sepenuhnya mengusir penjajah dari Indonesia karena perlawanan tersebut tidaklah menyeluruh. Hanya sebatas perlawanan mandiri dari satu komunitas di perkampungan, misalnya. Sehingga Belanda yang masih hidup dan berhasil lolos dapat berpindah dari satu markas ke markas yang lain yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. 

Sebagai bentuk reaksi para pemuda Indonesia terhadap pemerintah kolonial dan atas kepedulian mereka kepada nasib rakyat Indonesia, pada tanggal 20 Mei 1908, didirikanlah organisasi pemuda yang dinamakan Budi Utomo. Organisasi pemuda yang menurut penulis adalah organisasi penggalang kekuatan para pemuda skala nasional dengan strategi halus mengelabuhi Belanda dengan kegiatan sosial, kebudayaan, perekonomian rakyat dan yang lebih penting adalah kegiatan kependidikan. Hari itu diperingati sebagai hari kebangkitan nasional. Karena pada saat itu adalah awal kebangkitan rakyat Indonesia dari keterpurukan, bersatu untuk sama-sama memiliki orientasi merdeka dari penjajahan dan melawan kolonialisme baik dengan otot (kekuatan fisik) maupun dengan otak (strategi) yang diprakarsai oleh Dr. Sutomo. Ini merupakan titik awal yang terang bagi bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan.

Selanjutnya pada tahun 1926 diselenggarakan Kongres Pemuda I dengan hasilnya adalah bersatunya para pemuda dari segala daerah, meski belum terlalu berhasil karena para pemuda masih menonjolkan rasa kedaerahannya. Kemudian diselenggarakan Kongres Pemuda II pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 yang menghasilkan Trilogi Sumpah Pemuda yang dikonsep oleh Muhammad Yamin dan dibacakan oleh Sugondo. Sumpah Pemuda merupakan konsepsi awal NKRI. Pada saat itu, disepakati sebuah nama bangsa, yaitu bangsa Indonesia, ditetapkannya Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan, serta bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu antardaerah. Sumpah Pemuda adalah langkah lanjutan dari Kebangkitan Nasional. Kesatuan para pemuda dan kematangan konsep membuat bangsa Indonesia semakin optimis akan tercapainya kemerdekaan Indonesia. Hingga pada 17 Agustus 1945 tercapailah cita-cita agung tersebut.

Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Bertumpah Darah Yang Satu, Tanah Air Indonesia
Tumpah darah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti tempat kelahiran. Begitu pula dengan tanah air memiliki arti negeri tempat kelahiran. Para pemuda yang lahir di daerah masing-masing, menyatukan nama tempat kelahiran mereka, yaitu Indonesia. Kalimat sumpah pertama pada Sumpah Pemuda ini mampu menyatukan semangat nasionalisme para pemuda. Karena tanah kelahiran adalah tempat yang dimuliakan dan yang wajib dibela dan dipertahankan apalagi jika ada yang mengusiknya. 

Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Berbangsa Yang Satu, Bangsa Indonesia
Setelah sumpah pertama yang berisi komitmen kesamaan sejarah, maka kalimat sumpah yang kedua ini merupakan tingkatan kedua setelah terbangunnya fondasi kebersatuan semangat juang yang ada dalam hati masing-masing pemuda. Para pemuda dan pemudi bersumpah untuk membangun dan bernaung pada bangsa yang satu, yaitu bangsa Indonesia. Mereka membangun bangsa, mempersatukan kakek buyut mereka dalam satu keturunan, mengumpulkan berbagai adat istiadat masing-masing lalu menyerahkannya pada satu kepemilikan, yaitu Indonesia, berusaha menyatukan bahasa, menyatukan sejarah dan membentuk pemerintahan yang menjadi cikal bakal pemerintahan Republik Indonesia setelah merdeka.

Kami Putra dan Putri Indonesia, Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia
Persatuan dan kesatuan para pemuda sudah terbangun dengan kokoh melalui dua kalimat sumpah yang telah disebutkan. Namun, persatuan dan kesatuan yang sudah terbangun belumlah sempurna jika belum ada satu media bahasa yang mempersatukan. Mengingat bangsa Indonesia yang majemuk terdiri dari suku-suku dan daerah-daerah yang memiliki bahasa yang berbeda-beda. Kesatuan bahasa itu sangat diperlukan sebagai alat komunikasi dan interaksi dalam satu komunitas. Sementara para pemuda dari segala penjuru tanah air telah bersatu padu membangun komunitas baru, yaitu Indonesia. Oleh karena itu, para pemuda dan pemudi Indonesia bersepakat dan bersumpah untuk menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Dengan sumpah pemuda, para pemuda dan pemudi Indonesia dulu bersatu padumempelopori klimaks perjuangan bangsa Indonesia hingga tercapailah cita-cita kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan oleh Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. 

Setelah kemerdekaan, tugas keberlangsungan pengejawantahan kalimat-kalimat sumpah pemuda otomatis diambil alih oleh generasi pemuda selanjutnya. Dan dalam perjalanannya tentu mengalami berbagai macam romantika. Hingga saat ini, pengejawantahan atau realisasi dari sumpah pemuda semakin sulit dirasakan. Nilai-nilai sumpah pemuda semakin lama semakin memudar. Tawuran di mana-mana, primordialisme kian suburnya, sistem pemerintahan yang kacau tidak tertata, serta generasi muda masa kini yang gemar mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing dan bahasa-bahasa alay yang merajalela, adalah beberapa contoh memudarnya nilai-nilai sumpah pemuda.

Tugas pemuda zaman sekarang lebih berat. Karena mengisi kemerdekaan, mempertahankan dan melestarikan konsep serta nilai-nilai yang telah diperjuangkan dan dirumuskan oleh para pendahulu lebih berat ketimbang menyusun strategi dan memperjuangkan kemerdekaan. Kalau tidak bisa bertahan, bisa jadi akan dijajah lagi. Namun dijajah secara konsep, nilai, bahasa, ide dan pemikiran. Akan tetapi jika bisa bertahan, para pemuda bersatu padu menghayati dan mengejawantahkan hakikat sumpah pemuda serta berani melawan, maka wujud ideal Indonesia yang diharapkan oleh para pahlawan bukanlah sebatas angan.

*Tulisan ini pernah dimuat di media mahasiswa Indonesia di Mesir, Buletin Tërobosan edisi interaktif sumpah pemuda, 30 Oktober 2012 dan www.shighor.com

19 October 2012

Ada Degradasi Bahasa; Hapuskan Saja Peringatan Sumpah Pemuda!

Salah satu kekayaan yang begitu berharga bagi bangsa Indonesia adalah bahasa. Bahasa-bahasa daerah, dan tentunya bahasa Indonesia itu sendiri. Seiring kemajuan zaman, nuansa berbahasa Indonesia itu semakin menghilang. Orang-orang lebih suka menggunakan bahasa yang inggris-inggris. Tidak masalah kalau sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris yang baik dan benar. Berbicara dengan bahasa inggris sesuai keadaan dan kebutuhan. Akan tetapi, orang-orang semerta menggunakan bahasa inggris seenaknya sendiri. Mencampur bahasa inggris dengan bahasa Indonesia. Hingga terjadilah degradasi bahasa Indonesia.

Misalnya dalam berbicara, orang-orang lebih suka bilang “fine” daripada berkata “baiklah”. Lebih enak bilang “thank you” daripada berkata “terima kasih”. Lebih puas bilang “as soon as possible” daripada berkata dengan ungkapan bahasa Indonesia “lebih cepat lebih baik” dan seterusnya. Ungkapan-ungkapan inggris ini diselipkan di sela-sela berbicara mereka dengan menggunakan bahasa Indonesia. Bukankah ini adalah hal yang tanggung? Ngomong inggris tidak, ngomong Indonesia pun tidak. Lalu sebenarnya mereka sedang berbicara menggunakan bahasa apa? Dia orang inggris apa orang Indonesia?

Jika orang-orang seperti ini terus dibiarkan, maka tidak saja degradasi budaya yang terjadi, bisa-bisa sampai kepada degradasi moral. Misalnya, terlihat biasa jika orang-orang seperti ini berinteraksi dengan komunitasnya atau orang-orang sebaya. Akan tetapi akan terlihat lain, tidak sopan jika dengan orang-orang yang lebih tua atau yang lebih tua lagi, atau bahkan orang-orang tua yang dulu ikut andil dalam perang kemerdekaan. Tentunya mereka akan merasa kecewa melihat kondisi bangsa sekarang yang kemerdekaannya diisi oleh orang-orang yang kesana-kemari dengan mudah dan rasa tak bersalahnya bilang “fine, fine, fine”.

Orang-orang seperti itu tidak boleh dibiarkan menjangkiti generasi berikutnya. Mereka telah mengingkari dan melanggar janji sumpah pemuda yang berbunyi “kami putra-putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Entah, sumpah pemuda setiap tahun diperingati namun kondisi yang diharapkan oleh ritual sumpah pemuda tidak semakin baik. Apakah peringatan sumpah pemuda hanya dijadikan sebagai momen tahunan tanpa arti atau hanya pencitraan kepada para pendahulu saja agar mereka tidak murka? Kalau begitu, hapuskan saja peringatan sumpah pemuda!

Bahasa adalah cerminan jatidiri bangsa. Tanpa bahasa, Indonesia bukanlah apa-apa. Dampak degradasi bahasa tak disadari secara langsung oleh para pemuda sebagai penerus Bangsa. Mau dibawa kemanakah Bangsa ini ke depannya? Siapa lagi kalau bukan kita para pemuda dan seluruh elemen bangsa yang menjaga otentisitasnya dan melestarikan keberadaannya? Ini tugas bersama!

Tub Romly, 18 Oktober 2012 1:23 pm

20 August 2012

Penyebarluas Islam; Dari Nabi Muhammad Sampai Ustad

Islam sebagai agama pamungkas dari agama-agama samawi ini pertama kali disebarluaskan oleh rasul pamungkas, baginda Muhammad SAW kepada manusia secara sembunyi-sembunyi dari pintu ke pintu, hingga secara terang-terangan berorasi. Namun baginda Muhammad SAW menyebarluaskan Islam tidak hanya dengan orasi belaka, akan tetapi juga dengan tingkah laku atau perbuatan yang mulia yang dapat menyilaukan pandangan manusia yang kemudian tertarik dengan kemuliaan itu dan akhirnya ikut menganut agama Islam karena ingin menikmati kemuliaan-kemuliaan yang ada di dalamnya.

Namun tingkah laku mulia baginda Muhammad SAW bukanlah semata-mata bentuk pencitraan belaka yang bertujuan untuk menyilaukan mata manusia, melainkan itu adalah sifat dan tabiat asli beliau sebagai manusia yang paling mulia. Disamping juga baginda Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT yang secara implisit disebutkan dalam hadits bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia yang pada waktu itu sedang dalam keadaan porak-poranda dalam segi akhlak.

Penyebarluasan Islam oleh baginda Muhammad SAW ini awalnya menuai banyak kontroversi di kalangan manusia pada waktu itu. Karena kedatangannya yang secara tiba-tiba dan mengusik agama yang ada. Dan baginda Muhammad SAW memakai metode yang pas, menyebarluaskan secara sembunyi-sembunyi. Sehingga walaupun datangnya tiba-tiba, manusia tidak terlalu kaget karena sudah ada bisikan-bisikan sebelumnya. Berawal dari itu semua, akhirnya Islam berhasil menyebar dan meluas ke seluruh dunia melalui generasi-generasi penyebarluas Islam setelah baginda Muhammad SAW dan sampailah Islam ke Indonesia.

Islam di Indonesia pada fase pertama penyebarluasannya dilakukan oleh para ulama dari timur tengah dengan menggunakan metode perdagangan. Karena profesi mereka adalah pedagang. Mendistribusikan barang dagangan dari timur tengah ke Indonesia. Namun profesi pedagang adalah profesinya sebagai manusia yang hidup dan bekerja. Akan tetapi tujuan utama mereka datang ke Indonesia adalah menyebarluaskan agama Islam. Lalu mereka mempertajam kegiatan penyebarluasan Islam dengan menikahi para perempuan Indonesia dan menetap sebagai warga Indonesia. Dari sini bisa diambil kesimpulan yang agak menggelitik, bahwa agama Islam di Indonesia adalah agama impor.

Dari wilayah pelabuhan satu ke pelabuhan yang lain, pulau satu ke pulau yang lain, Islam menyebar dan meluas di Indonesia khususnya di pulau Jawa. Tidak lain penyebarluasan Islam di tanah Jawa dari pantai Anyer di ujung barat sampai pantai Panarukan di ujung timur ini adalah berkat walisongo. Walisongo atau sembilan wali ini adalah para penyebarluas Islam yang mampu menyulap agama Islam yang merupakan agama impor menjadi seperti agama lokal yang menyatu dengan rakyat.

Walisongo menggunakan metode asimilasi. Asimilasi yaitu penggabungan ajaran agama Islam dengan adat istiadat dan budaya disekitarnya. Misalnya, tradisi menyediakan sesajen ke tempat-tempat keramat diasimilasi dengan konsep sedekah dalam Islam yang akhirnya menciptakan tradisi selamatan. Sehingga penduduk tanah Jawa banyak yang tertarik mengikuti ajaran agama Islam yang ketika itu mampu merubah adat yang kurang baik dan tidak rasional menjadi adat yang sangat baik dan rasional serta bermanfa’at.

Oleh walisongo dan murid-muridnya, Islam menyebar serta meluas ke seluruh daerah utara pulau Jawa dan beberapa pelosok. Setelah walisongo, dilanjutkan oleh generasi setelahnya yaitu para kiai dengan metode penyebarluasan dengan pengajian dan pesantrennya yang mampu menyebarluaskan Islam dari kota-kota hingga ke pelosok-pelosok desa. Karena pesantren mampu mencetak kader penyebarluas Islam secara serentak setiap tahunnya hingga semakin banyak penyebarluas Islam. Dengan banyaknya penyebarluas Islam, maka Islam semakin cepat menjalar, menyebar dan meluas hingga ke seluruh Indonesia.

Semakin hari, aktivitas penyebarluasan Islam di Indonesia terus berjalan dan mencapai klimaksnya. Hingga sekitar 80 persen dari penduduk Indonesia memeluk agama Islam. Namun belakangan ini agama Islam dijadikan komoditi industri. Aktivitas penyebarluasan ajaran Islam kini dijadikan sebagai profesi. Orasi dan ceramah-ceramah keagamaan dipoles sedemikian rupa hingga serupa dengan acara-acara hiburan. Seperti yang dilakukan oleh ustad-ustad yang diperbudak oleh pertelevisian. Apalagi pada saat bulan Ramadhan.

Bulan Ramadhan adalah bulan yang diagungkan oleh para pemeluk agama Islam di seluruh dunia termasuk Indonesia. Bulan ini dimanfa’atkan oleh stasiun-stasiun televisi untuk menyajikan acara yang diminati khalayak terutama para pemeluk agama Islam. Salah satunya adalah acara-acara ceramah keagamaan oleh ustad-ustad. Awalnya memang, ustad-ustad ini melakukan aktivitas penyebarluasan ajaran agama Islam dengan ikhlas dan lapang dada. Namun karena dimanfa’atkan oleh pihak televisi yang menjanjikan bayaran yang mahal, ustad pun tergiur. Karena ustad juga merupakan manusia yang tidak selalu bisa tahan dengan melihat uang banyak. Dan akhirnya, ceramahlah ustad di layar kaca televisi.

Tahun-tahun berlalu, kegiatan rutinan pertelevisian di bulan Ramadhan itu semakin inovatif. Setiap tahun muncul ustad-ustad baru di layar kaca. Kegiatan penyebarluasan ajaran agama Islam di televisi ini semakin memperlihatkan bahwa itu merupakan suatu profesi. Bahkan, kabarnya ada pula ustad yang memasang tarif hingga puluhan juta setiap kali ceramah. Malah kabarnya ada juga ustad yang melakukan kontrak ceramah dengan pihak televisi dengan biaya yang mahalnya melebihi artis.

Dalam aktivitas penyebarluasan agama Islam, para ulama terdahulu telah menyusun kode etik. Seharusnya sebagai penyebarluas agama Islam, para ustad di televisi itu mengamalkan kode etik tersebut. Tapi entahlah, apakah ustad-ustad itu tidak tahu kode etik atau mungkin tahu tapi tidak mengamalkannya. Semestinya predikat penyebarluas agama Islam itu tidak dijadikan profesi. Namun merupakan sebuah kewajiban bagi siapa saja yang memiliki ilmu. Karena setiap orang yang memiliki ilmu agama itu wajib mengamalkannya dan mengajarkannya kepada orang lain. Seperti yang dikatakan oleh baginda Muhammad SAW, “sampaikanlah walaupun hanya satu ayat”. Wallaahu A’lam.

03 August 2012

Tuhan, Please Bantu Gue Posting di Grup PPMI


Pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya terhadap siapa saja yang dipimpinnya. Dan pemimpin yang manusia dan bertuhan bertanggung jawab plus kepada tuhan karena dia memimpin manusia makhluk tuhan. Manusia yang dipimpin berhak menilai pemimpin baik untuk dilaporkan ke sesama manusia maupun kepada tuhan sebagai pertimbangan. Akhirnya, tuhan pun ber-demokrasi. Walaupun sejatinya tuhan mampu menilai sendiri secara independen dan mempunyai hak prerogatif untuk men-judge mana yang baik dan yang buruk menurutnya. Namun tuhan mengajarkan bagaimana menjadi pemimpin yang baik, bagaimana menjadi pendengar yang baik dan sebagainya.

"Penilaian hakiki adalah penilaian dari Tuhan Yang Maha Mengetahui"

Benar, tuhan menilai secara keseluruhan karena maha mengetahui. Sedangkan penilaian manusia yang dipimpin, adalah penilaian yang diambil dari obyektifitas. Dan itu bisa dijadikan acuan untuk laporan pengaduan ke tuhan. Tinggal bagaimana seorang pemimpin bersikap dan bertanggung jawab ketika diadili dihadapan tuhan dan para saksi.

Sebagai manusia pemimpin yang handal, jenius, tidak gampang curhat di jejaring sosial dan sebagainya, tentu punya antisipasi menghadapi hal tersebut. Diantaranya adalah bersinergi dengan manusia yang dipimpin. Bekerjasama, berkomunikasi dan berinteraksi secara efisien agar bisa saling melengkapi satu sama lain. Agar tercipta kepemimpinan dan dinamika yang ideal dan dinilai baik oleh tuhan.

Kaitannya dengan PPMI Mesir adalah berkurangnya ruang gerak Masisir dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan PPMI Mesir karena dibatasinya “posting permission” grup facebook PPMI Mesir dengan hanya admin saja yang dapat memposting di grup. Padahal, grup FB PPMI Mesir adalah wadah interaksi Masisir yang sangat penting.

Salah satu wadah sinergi tertutup. Pada grup FB PPMI Mesir, hanya akun FB PPMI Mesir yang dapat memposting tulisan. Akun FB Masisir sama sekali tidak ada ruang disana untuk memposting tulisan, berita, aspirasi dan sebagainya. Padahal, yang diposting disana oleh PPMI adalah hal-hal atau kepentingan yang berhubungan dengan PPMI saja. Jika demikian, bisakah Masisir leluasa berkomunikasi, berinteraksi, bersinegi, bekerjasama dan saling melengkapi? Lalu bagaimana dengan penilaian tuhan? kalau sudah begini, apakah Masisir masih butuh PPMI?

03 June 2012

Minggu Pagi di Nasr City

Pagi dini hari aku terbangun. Terdengar suara kicauan burung bersahutan. Aku kira sudah lewat waktu shubuh, dan ternyata belum. Aku lihat jam menunjukkan pukul 02:35 waktu Kairo, tanda belum masuk waktu shubuh. Aku bangkit dan segera meraih gelas dan mengambil air minum. Dua gelas kuhabiskan untuk membasahi usus-ususku. Aku jalan terbata-bata menuju kamar mandi untuk mandi pagi dan berwudlu. Setelah itu, aku berdiri terdiam di ruang depan. Tiba-tiba aku teringat kepada keluargaku di rumah. Aku merasa apa yang kulakukan sekarang persis seperti apa yang sering aku kerjakan di rumah. Suasananya seperti tak ada bedanya dengan suasana Indonesia.

Kicauan burung, hembusan angin, mengingatkanku pada pagi-pagi di Indonesia. Bangun tidur lebih awal, mandi pagi, pergi ke masjid, melantunkan shalawat tarhim, mengumandangkan adzan, shalat berjama’ah kemudian berolahraga. Aku membayangkan itu semua di awal pagi kota ini. Aku laksanakan shalat dua raka’at. Aku baca beberapa halaman dari Al-Qur’an. Lalu terdengarlah kumandang adzan dari masjid As-Shahaabah Swessry A. Kuhentikan bacaan untuk mendengar adzan kemudian aku berdiri untuk dua raka’at sebelum shalat shubuh. Kulanjutkan kembali bacaanku beberapa ayat dan bergegas menuju masjid. Waktu Shubuh di musim panas ini, jamnya memang lebih awal. Sekitar pukul tiga lebih sepuluh sampai lima belas menit karena waktu malam lebih pendek. Berbeda dengan musim dingin yang lebih lama waktu malam daripada siangnya.

Di tengah perjalananku ke masjid, iqamah dikumandangkan. Langsung saja kupercepat langkah kakiku. Sesampainya, aku segera bergabung barisan jama’ah. Raka’at demi raka’at berlalu cukup lama. Sang imam membaca ayat-ayat Al-Qur’an begitu banyak dan panjang. Sebenarnya menurutku itu tidak baik. Karena ayat-ayat yang terlalu panjang dan banyak itu bisa memberatkan makmum. Jika ini dipraktekkan di Indonesia, tentu masjidnya akan sepi tidak laku pengunjung.

Sepulang dari masjid, aku nyalakan computer kemudian kuputar video ceramah almarhum KH. Zainuddin MZ. Walaupun isi ceramahnya biasa-biasa saja, tapi tutur dan tata bahasanya rapi nan indah. Dalam ceramahnya, beliau menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar sesuai ejaan yang disempurnakan. Dari sekian banyak penceramah di Indonesia, menurutku memang beliau-lah yang paling rapi dalam menggunakan bahasa Indonesia pada ceramah-ceramahnya.

Kairo, 3 Juni 2012

Nabi Musa; Kebulatan Tekad Mencari Ilmu

Oleh : Moh. Hadi Bakri *)

Ketika itu, Nabi Musa melakukan perjalanan dengan ditemani Yusya’ bin Nun menuju majma’ al-bahrain untuk menemui Nabi Khidir dan menimba ilmu kepadanya. Padahal Nabi Musa tidak tahu secara tepat dan jelas dimana majma’ al-bahrain itu berada.

Sebelum berangkat, Allah hanya memberikan seekor ikan sebagai petunjuk keberadaan tempat yang akan ditujunya itu. Lalu Allah mengisyaratkan kepada Nabi Musa bahwa jika ikan itu hilang di suatu tempat, maka kembalilah ke tempat tersebut, karena disitulah kamu akan bertemu dengan Khidir. Akhirnya dengan modal isyarat, Nabi Musa dan muridnya melakukan perjalanan dengan membawa seekor ikan sebagi petunjuk dan dua potong roti sebagai bekal perjalanan.

Yusya’ bin Nun adalah murid yang juga pembantu atau asisten Nabi Musa. Seperti di pesantren, ada santri yang menjadi pembantu kiyai yang disebut khadim yang artinya pembantu. Yusya’ bin Nun merupakan kader Nabi Musa yang dipersiapkan untuk menggantikannya dalam memimpin Bani Isra’il setelah dia wafat. Majma’ al-bahrain artinya pertemuan dua laut. Sekarang tidak dapat diketahui dimana tepatnya majma’ al-bahrain itu berada. Ada ulama yang berpendapat bahwa majma’ al-bahrain adalah pertemuan laut Persia dan laut Romawi. Di tengah perjalanan, Musa berkata kepada Yusya’ bin Nun : “Aku tidak akan menghentikan perjalanan ini sampai aku menemukan dimana majma’ al-bahrain itu berada walaupun bertahun-tahun lamanya”. Seperti dalam al-Qur’an ayat 60 surat al-Kahfi :

وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا

Artinya : Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau akan berjalan (terus sampai) bertahun-tahun”.

Begitu bulatnya tekad Nabi Musa untuk mencari Ilmu. Ibaratnya, sekali layar terkembang, pantang surut berpantang. Para santri zaman sekarang hendaknya memiliki tekad yang dimiliki Nabi Musa dalam mencari ilmu. Sekali mondok, pantang boyong sebelum lulus...!!! Kisah perjalanan Nabi Musa pun bisa menjadi alasan pentingnya belajar ilmu melalui guru atau dengan petunjuk guru. Nabi Musa rela menghabiskan waktunya untuk melakukan perjalanan demi menemui sang guru, Nabi Khidir. Kemudian dalam kisah tersebut juga mengisyaratkan tentang pentingnya mencari lembaga pendidikan yang bagus. Seperti Nabi Musa yang mencari majma’ al-bahrain.

Tulisan ini pernah dimuat di http://www.shighor.com/

16 March 2012

Stand Up Comedy di Konser Khatulistiwa; Refleksi Masisir Atas Realita

Konser Khatulistiwa volume IV yang diadakan oleh Khatulistiwa, komunitas musik Masisir, pada hari Kamis tanggal 15 Maret 2010 di Pasangrahan Jawa Barat dari Pukul 17.05 hingga pukul 21.45 waktu Kairo berjalan lancar dan baik. Khatulistiwa didirikan pada tahun 2009 dengan tujuan menampung bakat Masisir dalam ber-musik dan berolah-vokal. Khatulistiwa menyelenggarakan konser perdananya di Pasangrahan Jawa Barat pada tahun 2009. Konser kedua pada tahun 2010 di tempat yang sama, Pasangrahan Jawa Barat pada musim panas. Konser ketiga diadakan di Mukhayyam Ad-Daim pada tahun 2011 bekerjasama dengan KBRI Cairo.

Konser Khatulistiwa diadakan setiap tahun pada musim panas. Namun di tahun ini, tahun 2012. Khatulistiwa mengadakan konsernya pada musim semi atau pergantian antara musim dingin ke musim panas. Lebih cepat dari biasanya. Menurut tim pelaksana, konser Khatulistiwa tahun ini diadakan lebih awal karena ada beberapa hal penting yang harus di-floor-kan kepada khalayak umum terkait fenomena-fenomena yang dipandang negatif yang ada di Masisir. Dan beberapa hal penting tersebut disampaikan melalui stand up comedy yang memang belum pernah ada di konser Khatulistiwa pada tahun-tahun sebelumnya.

Stand up comedy diadakan di sela-sela acara konser Khatulistiwa. Pada stand up comedy, disampaikan beberapa kegalauan Masisir. Salah satunya adalah kegalauan terhadap kinerja pemerintah entah itu KBRI maupun PPMI. Diantaranya mengenai pengurusan visa. Selama ini Masisir tersiksa karena pengurusan visa yang benar-benar dan sama sekali tidak efisien. Betapa miris dan tersiksanya Masisir ketika mengantri visa dari jam 8 malam sampai jam 9-10 pagi. Berkemah, menginap dan begadang di tempat pengurusan visa setiap malam Senin dan malam Sabtu.

Negatifnya, pemerintah Indonesia di Mesir terlihat diam saja tanpa ada tindakan ataupun usaha yang solutif. PPMI pun demikian adanya, ngikut saja dan tidak kreatif. Padahal, buletin Terobosan edisi 345 tanggal 19 Februari 2012 telah memuat berita tentang susahnya Masisir dalam mengurus perpanjangan visa. Dan itu tidak berdampak apa-apa dan sama sekali tidak mempengaruhi KBRI yang katanya dubesnya baru tapi belum ada gebrakan untuk menyelesaikan masalah pengurusan visa WNI di Mesir.

Kegalauan selanjutnya yang disampaikan di stand up comedy adalah tentang adanya sebagian Masisir yang aktif di partai-partai politik. Entah apa motif mereka sehingga bisa-bisanya hati dan pikiran mereka di-partai-kan. Entah karena sudah temurun dari senior-senior mereka dan dipaksa untuk mengikutinya, atau hanya ikut-ikutan, atau mencari pengalaman yang tidak bermanfa’at, atau barangkali mengikuti nurani yang lugu. Padahal dari zaman nenek moyang dulu hingga sekarang, fakta telah membuktikan bahwa partai politik adalah lumbung kebohongan. Tapi anehnya, partai politik adalah batu loncatan untuk mendapatkan kekuasaan. Bagaimana bisa amanah jika prosesnya saja berawal dari sana? Lalu, apakah Masisir yang marpol berorientasi itu juga?

Pada stand up comedy juga disampaikan kegalauan perihal seminar bertiket yang harganya variatif. Dari gratis, murah, mahal sampai yang paling mahal. Rupanya Masisir mulai dibudayakan dengan praktek ungkapan “segalanya butuh uang”. Dan lagi, iklan seminar tersebut selalu memenuhi notifikasi akun facebook Masisir. Betapa Masisir, facebooknya setiap hari diramaikan oleh notifikasi-notifikasi tersebut. Memang sekilas seminarnya terlihat bagus, tapi preparing-nya agak berlebihan.

Tim pelaksana mengundang pihak KBRI dan KBRI pun menghadiri konser Khatulistiwa volume IV. Bahkan bukan saja menghadiri, KBRI juga membuka acara, memberikan sambutan dan mengapresiasi acara konser tersebut. Tapi PPMI, sama sekali tidak diundang pada acara konser tersebut, apalagi memberikan sambutan. Mungkin kiranya PPMI telah cukup diwakili oleh KBRI. Karena toh mungkin selama ini PPMI selalu ngikut KBRI saja. Memang aneh, PPMI yang merupakan representasi dari Masisir tapi terkesan tidak representatif. Mungkin karena mental PPMI sekarang adalah mental yang mudah dihegemoni.

Kegalauan-kegalauan tersebut seakan diredakan sementara waktu oleh penampilan-penampilan 7 grup band Masisir diantaranya : CLEO ‘n Friends dengan variasi musiknya yang menawan, D’Az Coustics dengan musik akustiknya yang menggoda, The Fiddles dengan alunan gesekan dawai-dawai biolanya yang memukau, Rumah Akar dengan musik reggae dan suara vokalnya yang nge-rock abis, ABC dengan musik rock-nya, SIC-ers Band dengan kreasi-kreasi musiknya, dan The Kemplus Band dengan dangdut koplonya yang fantastis. Apalagi saat penampilan The Kemplus, seakan-akan semua galau Masisir berlalu ketika itu. Berjoget ria mengikuti lekak-lekuk pukulan ketipung dangdut koplo yang diramu bersama instrumen lainnya oleh The Kemplus.

Mahasiswa sebagai agent of change, semestinya kreatif dan tidak tinggal diam terhadap fenomena-fenomena yang ada. Apalagi terhadap fenomena-fenomena negatif yang ada disekitarnya. Dan Masisir yang ber-khidmah, akan peduli terhadap bangsa, agama, sesama, teman, sahabat, terlebih kerabat dekatnya. Lagi, mahasiswa sebagai agent of change, tentu berani menyampaikan saran, aspirasi, kritik dan tindakan-tindakan yang membangun bahkan mahasiswa rela berkorban demi perubahan. Juga, mahasiswa yang mempunyai hati dan pikiran yang bersih dari hegemoni partai-partai politik, akan berbuat dan bekerja keras demi kemaslahatan di dalam kebersamaan.

10 March 2012

Dinamika Masisir; Antara Khidmah dan Kepentingan

Oleh : Mohamad Bakri

Kehidupan berdinamika bagi masisir memang tidak bisa dilepaskan. Baik itu dinamika berkuliah, talaqqi, kajian, berorganisasi, jurnalistik, maupun bekerja demi menyambung hidup, dan lain sebagainya. Masisir dengan segala bentuk dan warnanya, dari latar belakang yang beragam, banyaknya tipikal, mentalitas yang berbeda-beda, serta tingkat kecerdasan yang beraneka rupa, dapat mempengaruhi pola pikir masisir. Bagi masisir yang belum mengerti, atau yang masih tengok kanan dan tengok kiri, tentu akan mudah disetir ke berbagai arah oleh masisir lain, baik oleh senior maupun sepadan yang lebih mengerti dalam dinamika.

Dinamika yang marak di kalangan masisir adalah dinamika organisasi kemahasiswaan. Baik organisasi induk, kekeluargaan, senat, almamater, afiliatif dan sebagainya. Kesemua organisasi tersebut tentu memiliki kesamaan dalam visi, misi dan prioritas. Yakni menjadikan mahasiswa yang aktif dalam organisasi tersebut, mahasiswa yang sebenar-benarnya mahasiswa pada umumnya. Bertanggung jawab, bergerak demi kemaslahatan, cerdas, cekatan dalam menyelesaikan masalah, peka sosial serta pandai bersosialisasi. Dan satu lagi, ambisius. Namun ambisiusitas ini diarahkan kepada hal-hal baik. Maklum adanya karena kebanyakan mahasiswa adalah para pemuda.

Masisir yang memiliki notabene insan akademis-organisatoris, memiliki prinsip dasar yaitu khidmah. Khidmah berarti menolong, kemudian maknanya meluas menjadi mengabdi. Masisir yang bekerja demi organisasi manapun tanpa terkecuali, merupakan wujud khidmah. Menghidupkan dinamika organisasi, mewujudkan kebersamaan, merupakan bentuk khidmah. Dinamika organisasi diantaranya berlomba mengadakan event-event yang bermanfa’at, baik masif maupun non-masif. Ini baik jika prinsipnya adalah sama-sama ber-khidmah. Namun lain halnya jika dinamika ber-khidmah ini dimanfa’atkan oleh pihak tertentu yang membawa kepentingan seperti partai politik.

Partai politik cenderung egois-oportunis. Mementingan diri sendiri tanpa memperdulikan orang lain. Bahkan menghalalkan segala cara demi kepentingannya. Jikapun mereka peduli, maka kepedulian itu hanyalah pencitraan belaka. Mereka pun cerdik dalam memanfa’atkan segala macam situasi dan kondisi. Termasuk kehidupan dinamika organisasi masisir, pun dimanfa’atkan. Bahkan menjadi objek utama kepentingan mereka. Sehingga aktifitas ber-khidmah masisir dicampuri bahkan dikotori oleh kepentingan mereka. Akibatnya adalah ketidak-seimbangan dinamika.

Lalu, jika dinamika masisir telah dicampuri oleh kepentingan partai politik, apakah masih pantas disebut khidmah? Jawabannya adalah tidak. Khidmah adalah berbuat, bekerja, berusaha, menolong, mengabdi dan berupaya agar bermanfaat untuk orang lain tanpa berharap agar mendapat balasan ataupun sekedar pujian demi pencitraan pribadi maupun golongan ataupun kepentingan lainnya yang dapat merusak eksis khidmah. Seperti partai politik yang berbuat demi pencitraan agar mendapat perhatian masyarakat. Na’uudzu Billaahi Min Tilka. Dan itu tidak bisa disebut khidmah. Khidmah lebih cenderung kepada laku ikhlas yang diibaratkan dengan tangan kanan memberi tangan kiri bersembunyi.

Swessry A 10th Nasr City, Maret 2012