24 December 2012

Selamat Natal, Arin!

"Selamat Natal ya Rin", ucap Madin kepada Arin, seorang protestan teman kuliahnya. "Makasih ya Mad, semoga Tuhan mengasihimu selalu", Arin membalas. "Aamiin", gumam Madin dalam hati sambil tersenyum. Di sore itu, Arin lebih dulu naik bus pergi ke Gereja untuk ikut Misa. Madin masih duduk di halte kampus membuka-buka buku catatan kuliah yang baru saja dipinjamnya dari Arin. Sesaat kemudian, datanglah Kuro, temannya yang biasa mengenakan peci putih dengan jidatnya yang hitam, baju koko, tas kecil yang menggantung di pinggang, celana menjuntai di atas mata kaki, serta sandal gunung merk eiger, tiba-tiba bilang, "Kafir kamu Mad! Murtad kau Mad! Darahmu halal!". Rupanya Kuro diam-diam memperhatikan percakapan Madin dan Arin dari tadi. Kasihan si Madin. Hanya karena mengucapkan selamat natal, serta-merta dicap kafir. Padahal yang paling berhak mengkafirkan dan memurtadkan adalah Tuhan. Dan Tuhan sendiri, untuk mengkafirkan dan memurtadkan hambaNya, memiliki banyak pertimbangan kasih dan sayang. Wallaahu A'lam. []

07 December 2012

Dilalah (Penanda) dalam Ilmu Mantiq (Logika)

Oleh: Moh. Hadi Bakri Raharjo


Pembahasan dilâlah (penanda) dalam ilmu mantiq merupakan salah satu hal yang penting. Karena lafadz (kata) --dalam pembahasan ilmu mantiq-- tidak dapat dipahami artinya kecuali dengan adanya dilâlah yang menunjukkan makna dari lafadz tersebut.

Pengertian Dilâlah
Dilâlah (penanda) dalam bahasa arab al-Dilâlah jika diartikan dari sisi etimologi adalah al-Hidâyah (petunjuk). Sedangkan menurut istilah, dilâlah merupakan suatu proses pencarian makna dari al-dâl (penunjuk) kepada al-madlûl (objek yang ditunjuk). Maka diharapkan dengan adanya al-dâl (penunjuk), pikiran manusia berangkat kepada al-madlûl(objek yang ditunjuk) sehingga dapat mengetahui hakikat dari hal yang ditunjukkan oleh dilâlahtersebut. Para pakar ilmu mantiq kemudian mendefinisikan dilâlah ini dengan “fahmu amrin min amrin”, memahami/paham suatu hal dengan (perantara) suatu hal.

Pembagian Dilâlah
Dilâlah dibagi menjadi dua: dilâlah lafdziyah (suara) dan dilâlah ghoiru lafdziyah (non-suara). Kemudian masing-masing bagian dibagi menjadi tiga bagian: wadl’iyah (non-alami), aqliyah (rasional) dan thabi’iyah (alami/natural). Berikut ini adalah pembagian dilâlah beserta contoh-contohnya:

A. Dilâlah Ghoiru Lafdziyah (Penanda bersifat non-suara), dibagi tiga:
1. Dilâlah Ghoiru Lafdziyah Aqliyah (Penanda bersifat non-suara yang rasional). Contoh: adanya bekas menunjukkan bahwa ada yang membekasi. Dianggap rasional/masuk akal karena adanya kausalitas atau hubungan sebab-akibat. Misal, bekas jejak langkah pada tanah menunjukkan adanya orang yang berjalan melewatinya.
2. Dilâlah Ghoiru Lafdziyah Thabi’iyah (Penanda bersifat non-suara yang alami/natural atau menurut kebiasaan). Contoh: Meningkatnya suhu badan menandakan sakit demam. Dianggap alami/natural karena berangkat dari unsur kebiasaan yang alami.
3. Dilâlah Ghoiru Lafdziyah Wadl’iyah (Penanda bersifat non-suara yang non-alami atau dengan unsur kesengajaan). Contoh: rambu lalu lintas bergambar anak panah yang menunjukkan arah jalan. Rambu lalu lintas dibuat oleh manusia dengan unsur kesengajaan (wadl’iyah) serta tidak berupa suara (ghoiru lafdziyah).

B. Dilâlah Lafdziyah (Penanda bersifat suara), dibagi tiga:
1. Dilâlah Lafdziyah Aqliyah (Penanda bersifat suara yang rasional). Contoh: Orang yang berbicara dibalik dinding menunjukkan bahwa orang tersebut hidup.
2. Dilâlah Lafdziyah Thabi’iyah (Penanda bersifat suara yang alami/natural atau menurut kebiasaan). Contoh: Suara batuk yang menunjukkan bahwa orang yang batuk itu sedang sakit dada. Dilâlah ini berangkat dari unsur kebiasaan.
3. Dilâlah Lafdziyah Wadl’iyah (Penanda bersifat suara yang non-alami atau dengan unsur kesengajaan). Contoh: Manusia adalah dari jenis makhluk hidup yang berbicara/berpikir (al-insân huwa al-hayawân al-nâthiq).

Dilâlah Lafdziyah Wadl’iyah
Dalam pembahasan ilmu mantiq, yang dititik-beratkan dan dibahas secara mendalam adalah pembahasan dilâlah lafdziyah wadl’iyah. Karena tema-tema pembahasannya yang dianggap menentu, baik berupa tashawur (pemetaan) yang bertengger pada al-ta’rîf (definisi) ataupun tashdiq (ratifikasi) yang capaiannya adalah al-hujjah (argumen).

Sedangkan macam dilâlah selain yang lafdziyah wadl’iyah ini tidak dibahas secara mendalam dan hanya disebutkan sebagai bagian dari dilâlah saja. Karena dalam pembahasan-pembahasannya terdapat banyak kemungkinanyang tidak menentu, banyaknya perbedaan persepsi serta kebiasaan. Misalnya pada contoh dilâlah lafdziyah aqliyah di atas, suara orang yang berbicara dibalik tembok belum tentu suara orang yang hidup, karena bisa saja suara tersebut suara radio dan sebagainya.

Unsur Dilâlah
Dilâlah memiliki dua unsur: al-dâl (penunjuk) dan al-madlûl (objek yang ditunjuk). Misal, al-insân al-hayawân al-nâthiq, manusia adalah jenis makhluk hidup yang berbicara/berpikir. Al-insân (manusia) adalah al-dâl (penunjuk) dan al-hayawân al-nâthiq (makhluk hidup yang berbicara/berpikir) adalah al-madlûl (objek yang ditunjuk).

Pembagian Dilâlah Lafdziyah Wadl’iyah
Dilâlah Lafdziyah Wadl’iyah dibagi menjadi tiga macam:
1. Al-Dilâlah Al-Muthâbaqiyah (Penanda yang bersifat kesesuaian), adalah dilâlah terhadap lafadz atas maknanya secara menyeluruh yang merupakan (kesesuaian) terma lafadz tersebut. Misal: dilâlah-nya al-insân terhadap al-hayawân al-nâthiq, atau dilâlah-nya al-faros (kuda) terhadap al-hayawân al-shâhil (makhluk hidup yang meringkik). Lafadz al-insân menunjukkan makna secara menyeluruh atas makna dari lafadz al-hayawân al-nâthiq. Begitu pula dengan al-faros, menunjukkan makna secara keseluruhan atas lafadz al-hayawân al-shâhil.
2. Al-Dilâlah Al-Tadhammuniyah (Penanda yang bersipat cakupan), adalah dilâlah terhadap lafadz atas sebagian maknanya (tidak menyeluruh) yang merupakan bagian dari terma lafadz tersebut. Misal: dilâlah-nya al-bayt (rumah) terhadap al-jidâr (dinding), dan al-insân (manusia)terhadap al-nâthiq (berbicara/berpikir). Jadi, dengan adanya al-bayt (rumah) menunjukkan adanya al-jidâr (dinding), begitupun dengan al-insân (manusia) menunjukkan al-nâthiq (berbicara/berpikir).
3. Al-Dilâlah Al-Iltizâmiyah (Penanda yang bersifat keharusan), adalah dilâlah terhadap lafadz yang berada di luar makna yang harus ada dan disandarkan atau disematkan pada dilâlah tersebut. Misal: dilâlah-nya al-insân (manusia) terhadap qâbilun lil al-‘ilm (menerima pengetahuan) atau terhadap al-dlâhik (tertawa) yang harus ada dan disandarkan atau disematkan kepada lafadz al-insân (manusia).[]


Sumber: 
Al-Tadzhîb Syarh Al-Khubaishî ‘Alâ Tahdzîbil Manthiq Li Al-Taftâzânî