03 June 2012

Minggu Pagi di Nasr City

Pagi dini hari aku terbangun. Terdengar suara kicauan burung bersahutan. Aku kira sudah lewat waktu shubuh, dan ternyata belum. Aku lihat jam menunjukkan pukul 02:35 waktu Kairo, tanda belum masuk waktu shubuh. Aku bangkit dan segera meraih gelas dan mengambil air minum. Dua gelas kuhabiskan untuk membasahi usus-ususku. Aku jalan terbata-bata menuju kamar mandi untuk mandi pagi dan berwudlu. Setelah itu, aku berdiri terdiam di ruang depan. Tiba-tiba aku teringat kepada keluargaku di rumah. Aku merasa apa yang kulakukan sekarang persis seperti apa yang sering aku kerjakan di rumah. Suasananya seperti tak ada bedanya dengan suasana Indonesia.

Kicauan burung, hembusan angin, mengingatkanku pada pagi-pagi di Indonesia. Bangun tidur lebih awal, mandi pagi, pergi ke masjid, melantunkan shalawat tarhim, mengumandangkan adzan, shalat berjama’ah kemudian berolahraga. Aku membayangkan itu semua di awal pagi kota ini. Aku laksanakan shalat dua raka’at. Aku baca beberapa halaman dari Al-Qur’an. Lalu terdengarlah kumandang adzan dari masjid As-Shahaabah Swessry A. Kuhentikan bacaan untuk mendengar adzan kemudian aku berdiri untuk dua raka’at sebelum shalat shubuh. Kulanjutkan kembali bacaanku beberapa ayat dan bergegas menuju masjid. Waktu Shubuh di musim panas ini, jamnya memang lebih awal. Sekitar pukul tiga lebih sepuluh sampai lima belas menit karena waktu malam lebih pendek. Berbeda dengan musim dingin yang lebih lama waktu malam daripada siangnya.

Di tengah perjalananku ke masjid, iqamah dikumandangkan. Langsung saja kupercepat langkah kakiku. Sesampainya, aku segera bergabung barisan jama’ah. Raka’at demi raka’at berlalu cukup lama. Sang imam membaca ayat-ayat Al-Qur’an begitu banyak dan panjang. Sebenarnya menurutku itu tidak baik. Karena ayat-ayat yang terlalu panjang dan banyak itu bisa memberatkan makmum. Jika ini dipraktekkan di Indonesia, tentu masjidnya akan sepi tidak laku pengunjung.

Sepulang dari masjid, aku nyalakan computer kemudian kuputar video ceramah almarhum KH. Zainuddin MZ. Walaupun isi ceramahnya biasa-biasa saja, tapi tutur dan tata bahasanya rapi nan indah. Dalam ceramahnya, beliau menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar sesuai ejaan yang disempurnakan. Dari sekian banyak penceramah di Indonesia, menurutku memang beliau-lah yang paling rapi dalam menggunakan bahasa Indonesia pada ceramah-ceramahnya.

Kairo, 3 Juni 2012

Nabi Musa; Kebulatan Tekad Mencari Ilmu

Oleh : Moh. Hadi Bakri *)

Ketika itu, Nabi Musa melakukan perjalanan dengan ditemani Yusya’ bin Nun menuju majma’ al-bahrain untuk menemui Nabi Khidir dan menimba ilmu kepadanya. Padahal Nabi Musa tidak tahu secara tepat dan jelas dimana majma’ al-bahrain itu berada.

Sebelum berangkat, Allah hanya memberikan seekor ikan sebagai petunjuk keberadaan tempat yang akan ditujunya itu. Lalu Allah mengisyaratkan kepada Nabi Musa bahwa jika ikan itu hilang di suatu tempat, maka kembalilah ke tempat tersebut, karena disitulah kamu akan bertemu dengan Khidir. Akhirnya dengan modal isyarat, Nabi Musa dan muridnya melakukan perjalanan dengan membawa seekor ikan sebagi petunjuk dan dua potong roti sebagai bekal perjalanan.

Yusya’ bin Nun adalah murid yang juga pembantu atau asisten Nabi Musa. Seperti di pesantren, ada santri yang menjadi pembantu kiyai yang disebut khadim yang artinya pembantu. Yusya’ bin Nun merupakan kader Nabi Musa yang dipersiapkan untuk menggantikannya dalam memimpin Bani Isra’il setelah dia wafat. Majma’ al-bahrain artinya pertemuan dua laut. Sekarang tidak dapat diketahui dimana tepatnya majma’ al-bahrain itu berada. Ada ulama yang berpendapat bahwa majma’ al-bahrain adalah pertemuan laut Persia dan laut Romawi. Di tengah perjalanan, Musa berkata kepada Yusya’ bin Nun : “Aku tidak akan menghentikan perjalanan ini sampai aku menemukan dimana majma’ al-bahrain itu berada walaupun bertahun-tahun lamanya”. Seperti dalam al-Qur’an ayat 60 surat al-Kahfi :

وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا

Artinya : Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau akan berjalan (terus sampai) bertahun-tahun”.

Begitu bulatnya tekad Nabi Musa untuk mencari Ilmu. Ibaratnya, sekali layar terkembang, pantang surut berpantang. Para santri zaman sekarang hendaknya memiliki tekad yang dimiliki Nabi Musa dalam mencari ilmu. Sekali mondok, pantang boyong sebelum lulus...!!! Kisah perjalanan Nabi Musa pun bisa menjadi alasan pentingnya belajar ilmu melalui guru atau dengan petunjuk guru. Nabi Musa rela menghabiskan waktunya untuk melakukan perjalanan demi menemui sang guru, Nabi Khidir. Kemudian dalam kisah tersebut juga mengisyaratkan tentang pentingnya mencari lembaga pendidikan yang bagus. Seperti Nabi Musa yang mencari majma’ al-bahrain.

Tulisan ini pernah dimuat di http://www.shighor.com/