16 March 2012

Stand Up Comedy di Konser Khatulistiwa; Refleksi Masisir Atas Realita

Konser Khatulistiwa volume IV yang diadakan oleh Khatulistiwa, komunitas musik Masisir, pada hari Kamis tanggal 15 Maret 2010 di Pasangrahan Jawa Barat dari Pukul 17.05 hingga pukul 21.45 waktu Kairo berjalan lancar dan baik. Khatulistiwa didirikan pada tahun 2009 dengan tujuan menampung bakat Masisir dalam ber-musik dan berolah-vokal. Khatulistiwa menyelenggarakan konser perdananya di Pasangrahan Jawa Barat pada tahun 2009. Konser kedua pada tahun 2010 di tempat yang sama, Pasangrahan Jawa Barat pada musim panas. Konser ketiga diadakan di Mukhayyam Ad-Daim pada tahun 2011 bekerjasama dengan KBRI Cairo.

Konser Khatulistiwa diadakan setiap tahun pada musim panas. Namun di tahun ini, tahun 2012. Khatulistiwa mengadakan konsernya pada musim semi atau pergantian antara musim dingin ke musim panas. Lebih cepat dari biasanya. Menurut tim pelaksana, konser Khatulistiwa tahun ini diadakan lebih awal karena ada beberapa hal penting yang harus di-floor-kan kepada khalayak umum terkait fenomena-fenomena yang dipandang negatif yang ada di Masisir. Dan beberapa hal penting tersebut disampaikan melalui stand up comedy yang memang belum pernah ada di konser Khatulistiwa pada tahun-tahun sebelumnya.

Stand up comedy diadakan di sela-sela acara konser Khatulistiwa. Pada stand up comedy, disampaikan beberapa kegalauan Masisir. Salah satunya adalah kegalauan terhadap kinerja pemerintah entah itu KBRI maupun PPMI. Diantaranya mengenai pengurusan visa. Selama ini Masisir tersiksa karena pengurusan visa yang benar-benar dan sama sekali tidak efisien. Betapa miris dan tersiksanya Masisir ketika mengantri visa dari jam 8 malam sampai jam 9-10 pagi. Berkemah, menginap dan begadang di tempat pengurusan visa setiap malam Senin dan malam Sabtu.

Negatifnya, pemerintah Indonesia di Mesir terlihat diam saja tanpa ada tindakan ataupun usaha yang solutif. PPMI pun demikian adanya, ngikut saja dan tidak kreatif. Padahal, buletin Terobosan edisi 345 tanggal 19 Februari 2012 telah memuat berita tentang susahnya Masisir dalam mengurus perpanjangan visa. Dan itu tidak berdampak apa-apa dan sama sekali tidak mempengaruhi KBRI yang katanya dubesnya baru tapi belum ada gebrakan untuk menyelesaikan masalah pengurusan visa WNI di Mesir.

Kegalauan selanjutnya yang disampaikan di stand up comedy adalah tentang adanya sebagian Masisir yang aktif di partai-partai politik. Entah apa motif mereka sehingga bisa-bisanya hati dan pikiran mereka di-partai-kan. Entah karena sudah temurun dari senior-senior mereka dan dipaksa untuk mengikutinya, atau hanya ikut-ikutan, atau mencari pengalaman yang tidak bermanfa’at, atau barangkali mengikuti nurani yang lugu. Padahal dari zaman nenek moyang dulu hingga sekarang, fakta telah membuktikan bahwa partai politik adalah lumbung kebohongan. Tapi anehnya, partai politik adalah batu loncatan untuk mendapatkan kekuasaan. Bagaimana bisa amanah jika prosesnya saja berawal dari sana? Lalu, apakah Masisir yang marpol berorientasi itu juga?

Pada stand up comedy juga disampaikan kegalauan perihal seminar bertiket yang harganya variatif. Dari gratis, murah, mahal sampai yang paling mahal. Rupanya Masisir mulai dibudayakan dengan praktek ungkapan “segalanya butuh uang”. Dan lagi, iklan seminar tersebut selalu memenuhi notifikasi akun facebook Masisir. Betapa Masisir, facebooknya setiap hari diramaikan oleh notifikasi-notifikasi tersebut. Memang sekilas seminarnya terlihat bagus, tapi preparing-nya agak berlebihan.

Tim pelaksana mengundang pihak KBRI dan KBRI pun menghadiri konser Khatulistiwa volume IV. Bahkan bukan saja menghadiri, KBRI juga membuka acara, memberikan sambutan dan mengapresiasi acara konser tersebut. Tapi PPMI, sama sekali tidak diundang pada acara konser tersebut, apalagi memberikan sambutan. Mungkin kiranya PPMI telah cukup diwakili oleh KBRI. Karena toh mungkin selama ini PPMI selalu ngikut KBRI saja. Memang aneh, PPMI yang merupakan representasi dari Masisir tapi terkesan tidak representatif. Mungkin karena mental PPMI sekarang adalah mental yang mudah dihegemoni.

Kegalauan-kegalauan tersebut seakan diredakan sementara waktu oleh penampilan-penampilan 7 grup band Masisir diantaranya : CLEO ‘n Friends dengan variasi musiknya yang menawan, D’Az Coustics dengan musik akustiknya yang menggoda, The Fiddles dengan alunan gesekan dawai-dawai biolanya yang memukau, Rumah Akar dengan musik reggae dan suara vokalnya yang nge-rock abis, ABC dengan musik rock-nya, SIC-ers Band dengan kreasi-kreasi musiknya, dan The Kemplus Band dengan dangdut koplonya yang fantastis. Apalagi saat penampilan The Kemplus, seakan-akan semua galau Masisir berlalu ketika itu. Berjoget ria mengikuti lekak-lekuk pukulan ketipung dangdut koplo yang diramu bersama instrumen lainnya oleh The Kemplus.

Mahasiswa sebagai agent of change, semestinya kreatif dan tidak tinggal diam terhadap fenomena-fenomena yang ada. Apalagi terhadap fenomena-fenomena negatif yang ada disekitarnya. Dan Masisir yang ber-khidmah, akan peduli terhadap bangsa, agama, sesama, teman, sahabat, terlebih kerabat dekatnya. Lagi, mahasiswa sebagai agent of change, tentu berani menyampaikan saran, aspirasi, kritik dan tindakan-tindakan yang membangun bahkan mahasiswa rela berkorban demi perubahan. Juga, mahasiswa yang mempunyai hati dan pikiran yang bersih dari hegemoni partai-partai politik, akan berbuat dan bekerja keras demi kemaslahatan di dalam kebersamaan.

0 komentar:

Post a Comment