20 April 2013

Pergerakan Perempuan



Pada masa itu, Raden Ajeng Kartini dikekang pergerakannya oleh feodalisme ayahnya. Namun kala itu pula, dia mampu menggugah kesadaran masyarakat pada saat itu, dengan merubah pola pikir keliru yang menyebutkan bahwa perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan, dengan pola pikir maju yang menuntut kaum perempuan untuk juga merasakan pendidikan di sekolah. Tidak hanya di Sekolah Rendah, melainkan harus dapat melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, seperti halnya kaum laki-laki. Menurutnya, pendidikan tinggi bagi kaum wanita itu sangat penting untuk kemajuan bangsa Indonesia.

Lambat laun, perempuan Indonesia dari satu ke dua orang dan seterusnya, berkat surat-surat yang ditulis oleh RA. Kartini dari dalam kamarnya untuk perempuan seluruh dunia, mereka membuka mata, mengangkat tangan, dan bergerak untuk memajukan kaum perempuan mewujudkan cita-cita Kartini. Hingga berawal dari Putri Mardika, sebuah organisasi formal perempuan yang didirikan di Jakarta pada tahun 1912, organisasi-organisasi formal perempuan pun bermunculan di berbagai daerah.

Kemajuan pergerakan perempuan di Indonesia sebelum tahun 1920 dapat dikatakan lamban karena kurangnya sekolah-sekolah untuk wanita pribumi, jikapun ada, kadang tidak diizinkan oleh orangtua, baik karena alasan agar para perempuan membantu orangtua di rumah, maupun karena alasan adat dan tradisi yang menganggap tabu akan keterlibatan perempuan dalam pergerakan.

Sesudah tahun 1920 jumlah organisasi wanita bertambah banyak. Kesediaan mereka untuk terlibat dalam kegiatan organisasi makin meningkat dan kecakapan berorganisasipun bertambah maju. Hal ini  disebabkan karena kesempatan belajar makin meluas dan berkembang ke lapisan bawah. Dengan demikian jumlah wanita yang mampu bergerak di bidang sosial politik juga bertambah luas dan tidak lagi terbatas kepada lapisan atas saja. Oleh sebab semuanya itu, maka sesudah tahun 1920 dapat dilihat jumlah perkumpulan wanita bertambah banyak sekali, bahkan organisasi-organisasi sosial politik seperti P.K.I., S.I., NU dan Muhammadiyah mempunyai bagian wanita. Perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai tujuan yang sama, ialah untuk belajar masalah kepandaian putri  yang khusus dan berperan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

Menjelang tahun 1928, organisasi wanita berkembang  lebih pesat. Sikap yang dinyatakan oleh organisasi-organisasi wanita pada waktu itu, umumnya lebih tegas, berani dan terbuka. Perkembangan ke arah politik makin tampak, terutama yang menjadi bagian dari S.I. (Sarekat- Islam), P.K.I. (Partai Komunis Indonesia), P.N.I. (Partai Nasional Indonesia) dan PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia). Walaupun begitu, para perempuan ikut bahu membahu mengangkat senjata bersama laki-laki melawan penjajah. Dan ini merupakan inspirasi bagi generasi perempuan selanjutnya untuk melakukan sebuah gerakan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan dan ketidak-adilan.

Kebanyakan, tujuan daripada didirikannya organisasi pergerakan perempuan adalah untuk menggalakkan pendidikan dan pengajaran bagi wanita, perbaikan kedudukan sosial dalam perkawinan dan keluarga, serta meningkatkan kecakapan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.

Hari Ibu

Awalnya, 22 Desember 1928 adalah hari diselenggarakannya Kongres Perempuan. Kongres Perempuan Indonesia tingkat nasional yang pertama, yang diadakan pada tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta, dimana hampir 30 organisasi perempuan yang hadir pada saat itu. Kongres akbar yang menjadi fondasi pertama gerakan perempuan tersebut menghasilkan federasi organisasi yang bernama Persatoean Perempoean Indonesia (PPI) yang pada tahun berikutnya berubah nama menjadi PPII (Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia).

22 Desember adalah hari dimana perempuan memperoleh ruang keterlibatan dalam dialektika masyarakat, salahsatunya adalah keterlibatan dalam perjuangan kemerdekaan. Kemudian tanggal ini diperingati setiap tahun sebagai hari Ibu, yang terkesan sebatas hubungan antara ibu dan anak. Penyempitan makna ini merubah nyawa tanggal tersebut, dimana yang tadinya adalah nyawa sosial-politik dalam masyarakat, menjadi nyawa yang bersifat personal.

Peranan seorang istri dan ibu “yang baik” sangat diutamakan, dan agar bisa mengemban tugasnya dengan baik kaum wanita dianjurkan untuk memperoleh pendidikan yang baik, dan mempelajari keterampilan yang sangat diperlukan seperti menjahit pakaian dan mengasuh anak. Pendidikan sangatlah penting bagi perempuan, karena peran ibu dalam mendidik anak sangatlah dominan dibanding ayah.

Fenomena gerakan perempuan di tahun 1960-an dinisbahkan pada Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) sebuah organisasi perempuan yang kerap dinilai oleh banyak sejarawan adalah organisasi perempuan yang memiliki pemahaman ideologi kiri. Pada masa Sukarno, ideologi kiri adalah zeitgeist (jiwa zaman), Sukarno mengobarkan seluruh agenda-agenda politik dibawa ke pergerakan rakyat, rakyat diharuskan memiliki tingkat melek politik yang tinggi sehingga rakyat menjadi terlibat atas persoalan-persoalan nasional. Saat itu Gerwani menjadi corong utama atas kritik-kritik kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Seperti kenaikan harga BBM dan harga beras menjadi salah satu penyebab Gerwani kerap turun berdemo di jalan-jalan menuntut pemerintah menyelesaikan problem-problem yang menyulitkan rakyat banyak.

Pada masa Orde Baru gerakan perempuan dikembangkan menjadi dua arah, pertama menjadi pelayan atas kepentingan birokrasi dan struktur kekuasaan yang menopang alur komando yaitu : Dharma Wanita, dan yang kedua, menjadi sumber beras bantuan pemerintah untuk kerja-kerja sukarelawan, gerakan ini dinamakan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK).

Sementara Dharma Wanita dan PKK menjadi inti pergerakan perempuan yang dikendalikan oleh negara, maka kenangan akan hari ibu didomestifikasi, pada tahun 1950-an maksud Sukarno menjadikan hari jadi 22 Desember sebagai hari Ibu, dari sisi pemaknaan dikarenakan soal ‘redaksional’,  kaum perempuan disebut juga sebagai kaum Ibu, disini “Tubuh seorang Ibu adalah Tubuh Perempuan bukan sekedar sebagai tempat beranak dan membesarkan”.  Namun di jaman Orde Baru, pemaknaan hari Ibu menjadi sekedar perempuan yang memiliki anak dan menjadi “Hari Terima Kasih Anak Pada Ibunya” penyempitan ini ditujukan dalam pesan-pesan halusnya sebagai “Pengurungan Keterlibatan aktif perempuan dalam Politik”.

***

Perempuan masih belum bebas dan berdaulat atas tubuhnya, atas pikirannya dan atas kehendaknya sendiri dalam menentukan kehidupan. Kedaulatan perempuan atas tubuhnya inilah yang menjadi titik awal kesadaran perempuan pada dirinya dan posisinya ditengah masyarakat. Perempuan harus turut andil dalam kegiatan sosial masyarakat, semisal menjadi guru, perawat, bidan, pegawai dan lain sebagainya. Di samping sebagai pengabdian, juga turut mencari nafkah.

Rakyat dan kaum pergerakan rakyat harus selalu menjadikan pembangunan gerakan dan organisasi perempuan sebagai bagian tak terpisahkan dari setiap wadah/organisasi/ komunitas dan perjuangan kita. Di setiap organisasi rakyat, semestinya mereka memberikan dukungan dan kesempatan bagi kawan perempuan untuk aktif di organisasi sekaligus aktif dalam konsolidasi perempuan. Konsolidasi perempuan dalam bentuk departemen atau bidang khusus perempuan, maupun dalam bentuk organisasi perempuan. Konsolidasi perempuan semacam ini, dalam sejarah awal Indonesia terbukti sanggup menguatkan gerakan perempuan dan sekaligus gerakan rakyat.

Pun di setiap lingkungan atau komunitas masyarakat, seharus dan sepatutnya mereka memberikan dukungan dan memberi kesempatan bagi perempuan untuk semaksimal mungkin berkarya bagi diri dan masyarakatnya. Termasuk di dalamnya adalah kesempatan untuk menjadi pimpinan. Anak dan keturunan kita akan melihat dan belajar bagaimana perempuan dan laki-laki hidup setara dalam mayarakat, dan menjadi landasan bagi pemutusan rantai kekerasan terhadap perempuan. Karena pemenuhan hak rakyat selalu datang dari perjuangan rakyat, begitu juga terhadap pemenuhan hak perempuan.

Jika perempuan hanya dimaksudkan sebagai penunjang aktualisasi potensi laki-laki, membantu suami di rumah, memelihara martabat, rahasia, keturunan, dan harta laki-laki. Maka tak akan heran, jika pasar perbudakan perempuan akan meluas antar benua.

*Dari berbagai sumber.

06 April 2013

Ketika Dibacakan al-Qur’an, Diam dan Dengarkanlah!

Ketika Dibacakan al-Qur’an, Diam dan Dengarkanlah!
(Studi Ayat 204 Surat al-A’raf)
Oleh: Moh. Hadi Bakri Raharjo

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan al-Qur’an, maka dengarkanlah (baik-baik) dan diamlah (memperhatikan) dengan tenang agar kamu sekalian dirahmati.” QS. Al-A’raf: 204

Allah SWT. mengagungkan al-Qur’an dengan ayat: هَذَا بَصائِرُ مِنْ رَبِّكُمْ (al-Quran ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu) pada ayat sebelumnya, yakni ayat 203 surat al-A’raf, kemudian diteruskan dengan ayat selanjutnya, ayat 204. Sekiranya dapat kita dapatkan beberapa pembahasan dalam ayat 204 ini, diantara adalah sebagai berikut:

Ø Bahasan Pertama
Lafadz الإنصات dalam ayat tersebut bermakna: diam dan mendengarkan dengan baik/memperhatikan.

Ø Bahasan Kedua
Tidak ada keraguan bahwasanya lafadz فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا adalah bentuk perintah sebagai kewajiban, maksudnya adalah: diam dan mendengarkan ketika dibacakan al-Qur’an adalah wajib. Namun ada beberapa pendapat pada bahasan ini, diantaranya:
1.   Pendapat pertama, pendapat imam al-Hasan dan ahlu dzahir: Perintah pada ayat ini adalah umum, jadi kapanpun, dimanapun dan dalam keadaan apapun, ketika dibacakan al-Qur’an, maka ‘wajib’ diam dan mendengarkan.
2.   Pendapat kedua: Ayat ini turun untuk melarang dan mengharamkan ‘berbicara’ dalam shalat. Karena pada waktu itu terdapat para sahabat Nabi yang berbicara ketika sedang shalat. Seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA. : “Mereka (para sahabat) berbicara di dalam shalat, maka turunlah ayat ini dan diperintahkan untuk diam.”
3.   Pendapat ketiga: Ayat itu turun untuk para makmum agar tidak membaca bacaan shalat dengan keras dibelakang imam. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas RA. : Rasulullah SAW. Membaca (bacaan shalat) di shalat fardlu, dan para sahabat membacanya di belakang mengangkat suaranya dan bercampurlah (antara bacaan Rasulullah dan para sahabat). Pendapat ini merupakan pendapat imam Abu Hanifah dan murid-muridnya.
4.   Pendapat keempat: Ayat tersebut turun agar orang-orang ‘diam’ ketika khutbah. Pendapat ini adalah pendapat Sa’id ibn Zubair, Mujahid dan ‘Atho’. Pendapat ini dinukil dari pendapatnya Imam Syafi’I RA.

Ø Bahasan Ketiga
Para ahli fikih sepakat atas bolehnya mengkhususkan sesuatu yang ‘umum’ di dalam al-Qur’an dengan satu hadis Nabi (khabar wahid). Bentuk yang umumnya adalah: وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ ; mewajibkan diamnya makmum atas bacaan imam, kecuali membaca surat al-Fatihah, sesuai dengan hadis Nabi: “Tidak ada (dikatakan) shalat bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah.”, dan “Tidak ada shalat kecuali dengan (membaca) al-Fatihah.”. Hadis Nabi tersebut mengkhususkan ‘umum’nya al-Qur’an, dan meneguhkan bahwa mengkhususkan ‘umum’nya al-Qur’an dengan khabar wahid (satu hadis Nabi) adalah lazim (harus).

Ø Bahasan Keempat
Madzhab Imam Malik RA. yang merupakan pendapat pertama (qoul qadim) bagi Imam Syafi’I RA., yaitu: Makmum tidak boleh membaca surat al-Fatihah pada sholat-sholat yang bacaannya dibaca sejara jahr (lantang) --sesuai dengan ayat tersebut--, dan wajib atas makmum membaca surat al-Fatihah pada shalat-shalat yang bacaannya dibaca secara sirri (pelan), karena dalam ayat tersebut tidak menunjukkan keharusan diam ketika tidak mendengarkan bacaan imam.

Ø Bahasan Kelima
Objek yang dituju oleh ayat وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ adalah orang-orang kafir pada permulaan dakwah Rasulullah SAW., dan (objeknya) bukan merupakan orang-orang Islam. Allah SWT. telah menjelaskankan pada sebelum ayat ini tentang: bahwa sesungguhnya kaum-kaum kafir meminta ayat-ayat khusus dan mukjizat-mukjizat khusus. Dan ketika Nabi tidak mendatangkannya kepada mereka, mereka berkata: “kalau tidak, kami yang memilihkannya”. Kemudian Allah SWT. memerintahkan Nabi agar menjawab perkataan mereka dengan: “sesungguhnya itu bukan tugasku untuk menanyakannya pada Tuhanku, dan bukanlah tugasku pula kecuali aku menunggu wahyu.”. Lalu Allah SWT. menjelaskan kepada Nabi, agar meninggalkan permintaan mereka akan mukjizat-mukjizat khusus tersebut yang dimaksudkan untuk meragukan kenabian, karena al-Qur’an sudah merupakan mukjizat yang sempurna dan lebih dari cukup sebagi tanda kenabian. Barulah Allah mengungkapkan makna dari penjelasan tersebut dengan firman-Nya: هَذَا بَصَائِرُ مِنْ رَبِّكُمْ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ, dan firman-Nya: وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ.

Pada bahasan terdahulu, tentang bacaan makmum dibelakang imam, bisa dilihat: antara ayat 204 dan ayat sebelumnya, 203 tidak ada hubungannya samasekali dari segi konteks apapun. Bahasan tersebut dinilai merusak tatanan yang benar. Maka harus ada konteks lain selain bahasan bacaan makmum dan imam tersebut. Dan konteks yang benar adalah: Ketika al-Qur’an dianggap sebagai bukti, petunjuk dan rahmat, dari sisi mukjizat yang menunjukkan atas kebenaran Nabi Muhammad SAW., maka tidak akan jelas kecuali dengan syarat pengkhususan, yaitu: Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. ketika membaca al-Qur’an pada orang-orang kafir tersebut, mereka (orang-orang kafir) diam dan mendengarkannya dengan baik sehingga berhentilah kefasihan bicaranya ketika itu. Dan ketika jelas bagi mereka bahwa mukjizat itu (al-Qur’an) telah menunjukkan kebenaran Nabi, mereka meminta lagi mukjizat-mukjizat lain. Dan dijelaskannya kepada mereka tentang sifat al-Qur’an: هَذَا بَصَائِرُ مِنْ رَبِّكُمْ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ.

Dapat diambil kesimpulan dan dapat pula ditetapkan, jika memakai konteks yang terakhir atau bahasan yang kelima, maka dapat ditemukan tatanan yang baik dan menghasilkan susunan yang benar. Namun jika dimasukkan konteks: bacaan makmum dibalakang imam, maka dinilai merusak susunan yang baik dan benar tersebut.

Sumber: Tafsir al-Kabir karya Fakhruddin al-Razi