01 March 2013

Orang-orang Muslim (al-Muslimun): Makna Hakiki dan Pergeseran Makna

Oleh: Moh. Hadi Bakri Raharjo

<< يآأيها الذين ءامنوا اتقوا الله حق تقاته، ولاتموتن إلا وأنتم مسلمون>>
“Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa.
Dan janganlah sampai kalian mati kecuali kalian adalah orang-orang muslim."

Perilaku dominan manusia dalam hidup adalah kemampuannya dalammempengaruhidan mewarnai. Mereka dapat menggiring opini-opini. Mengajak orang lain untuk ikut pada pendapat atau terhadap apa yang mereka inginkan. Namun kebanyakan dari manusia: memandang suatu hal dan menganggapnya baik padahal sebenarnya hal itu buruk, memastikannya buruk padahal sesungguhnya itu baik, menganggap itu sebuah kekurangan padahal merupakan suatu kemuliaan, mengira itu mulia padahal tidak, dan lain sebagainya. Banyak sekali yang mereka anggap tidak sesuai dengan hakikat atau isinya. Karena mereka merasa cukup untuk melihat luar atau kulitnya saja tanpa melihat isinya.

Barangkali hal tersebut dikembalikan pada: bahwa kebanyakan pengertian atau definisi berasal dari lingkungan tertentu dan tumbuh dengan hawa nafsu, tashawur yang buruk, atau tujuan yang tidak baik. Atau barangkali muncul dari kenyataan yang benar dan berkembang secara baik kemudian bertolak belakang. Dan manusia menerima kekeliruan tersebut lalu dilanjutkannya dengan penyebarluasan diantara mereka. Bahkan dijadikan pedoman hukum yang dita’ati dan tidak mungkin dipungkiri. Akhirnya banyak terjadi kesalahpahaman atau bisa dikatakan pula pemahaman yang gagal.

Bukanlah suatu ‘kebiasaan’ (al-‘urf) yang menyebabkan segalanya itu tidak sesuai dengan hakikat maknanya dan berubah dari kedudukan sebenarnya; yang dampaknya terjadi pada perilaku individu, kondisi sosial masyarakat atau cara hidup. Akan tetapi yang menyebabkannya adalah ke-umum-an fenomena tersebut yang telah menjalar, merambat dan mendarah daging. Bahkan fenomena demikian berdampak pula pada: maksud atau arti dan makna suatu kalimat yang sebenarnya.

Imam al-Ghazali mengatakan bahwa suatu kebiasaan telah banyak merubah makna-makna kalimat yang terdapat dalam kitab-kitab suci. Sedikit maupun banyak telah mengalami berbagai perubahan. Imam al-Ghozali menyebutkan beberapa contoh, misalnya: al-fiqh, al-‘ilmu, al-tauhid dan al-hikmah.Salah satunya, al-‘ilmu. Maknanya yang asli adalah pengetahuan tentang keagungan Allah dan keindahanNya dengan cara memahami rahasianya dari ciptaanNya. Kemudian berubah menjadi suatu kesibukan berupa perdebatan dalam masalah fikih. Sehingga orang yang mahir dalam perdebatan tersebut dikatakan sebagai ahli ilmu. Sedangkan orang yang tidak begitu mahir dalam perdebatan fikih tidak dikategorikan sebagai ahli ilmu, walaupun telah mengetahui hakikat ciptaan Allah sesuai dengan makna al-‘ilmu yang sebenarnya. Begitu pula dengan kalimat lain yang bernasib sama dengan al-‘ilmu.

Ketika Imam al-Ghazali mengatakan demikian, maka Syaikh Mahmud Syaltut melihat pula bahwa pada kalimat al-Muslimun (orang-orang muslim) dalam ayat al-Qur’an diatas juga terdapat kelainan makna. Kalimat al-Muslimun sudah punya makna sendiri yang berlainan dengan makna sesungguhnya yang sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Allah SWT. Diantaranya, orang-orang mengatakan bahwa al-muslimun adalah bermakna al-awwalun (orang-orang pertama atau pendahulu).

Dalam hal ini, Syaikh Mahmud Syaltut menyebutkan beberapa perkembangan perubahan makna dari kalimat al-muslimun. Kami akan jelaskan perkembangan pertama akan makna al-muslimun. Karena perkembangan ini dinilai paling dekat dengan kebenaran atau hakikat maknanya. Pada perkembangan pertama, makna asli atau sesuai dengan apa yang dimaksudkan dari kalimat al-muslimun, adalah merupakan hubungan-hubungan antara manusia dengan sesuatu yang lain baik di luar maupun di dalam dirinya. Baik itu hubungan dengan diri sendiri, sesama manusia maupun dengan Tuhan. Dan berikut ini adalah penjelasan tentang macam-macam hubungan manusia tersebut.

Hubungan yang pertama, adalah hubungan manusia dengan Tuhannya dari sisi keimanan. Diantaranya adalah: menghadirkan keagunganNya, melihatNya dalam segala hal (ihsan), menuruti perintahNya, merasa takut jika menjauhiNya, dan berkorban untukNya secara benar dan untuk kebenaran. Bisa ditarik kesimpulan bahwa hubungan ini adalah merupakan hubungan penghambaan manusia.

Hubungan yang kedua, adalah hubungan manusia dengan dirinya sendiri, yaitu bagaimana manusia menjaga dirinya sendiri dari berbagai macam kerusakan, menerima apa yang telah ditimpa dari Allah SWT., serta terus berusaha mencari petunjuk agar bisa melalui kehidupan dengan baik.

Hubungan yang ketiga, adalah hubungan manusia dengan saudaranya sesama muslim. Hubungan dalam saling tolong menolong dalam kebaikan serta keikhlasan dalam melakukannya.

Hubungan yang keempat, adalah hubungan manusia dengan sesama manusia. Hubungan dalam mengajak kepada kebaikan dan amar ma’ruf nahi munkar serta membawanya dari kegelapan menuju cahaya.

Kemudian masih pada perkembangan pertama pula, kalimat al-muslimun memiliki makna yang merupakan perilaku ikhlas lillaahi ta’ala dalam berakidah, beriman dan beramal. Dan berikut ini adalah beberapa pengertian tentang ikhlas dalam beriman, beramal maupun keduanya.

Ikhlas dalam beriman atau berakidah memiliki artian: tidak ada tujuan lain kecuali Allah SWT., tidak mengharap pada sebab lain pada suatu kejadian kecuali AllahSWT., serta tidak menghamba kepada selain Allah Ta’ala. Sedangkan ikhlas dalam beramal adalah: manusia tidak memiliki tujuan atau hasrat lain dengan apa yang mereka lakukan kecuali mengharap ridha Allah SWT.

Adapun ikhlas dalam beriman dan beramal, yang merupakan penggabungan keduanya, adalah; menggunakan akal untuk beriman dan berakidah dengan baik, membersihkan dan mensucikan diri dengan perilaku (akhlak) yang terpuji. Sehingga manusia dan masyarakatnya senantiasa dijaga oleh Allah SWT dengan kemuliaanNya. Wallaahu A’lam. []

Sumber: Min Taujihat al- Islam karya al-Syaikh Mahmud Syaltut