20 December 2013

Bundaran Tahrir dan Perempatan Rab’ah

Pada hari Selasa 25 Januari 2011, rakyat Mesir terutama para pemuda berjejalan memenuhi lapangan Tahrir untuk melakukan aksi demonstrasi menuntut agar Hosni Mobarak mengakhiri jabatannya sebagai presiden. Gerakan yang bermula dari Facebook dan Twitter itu akhirnya berhasil setelah selama 18 hari melakukan demonstrasi.

Lapangan Tahrir menjadi saksi sejarah berakhirnya 30 tahun kepemimpinan Hosni Mobarak pada hari Jum’at 11 Februari 2011. Lalu kepemimpinan Mesir dipegang sementara oleh militer. Selanjutnya, Pemilu diselenggarakan pada tahun berikutnya, 2012. Kemudian terpilihlah Morsi sebagai presiden.

Lapangan Tahrir adalah simbol kekuatan, kekuasaan dan kemerdekaan rakyat Mesir. Setiap demonstrasi besar dilakukan di sana. Dari revolusi tahun 1919, tahun 1935, 1952, 1977,hingga revolusi 25 Januari 2011 yang menumbangkan rezim Mobarak. Bahkan demonstrasi 30 Juni  tahun ini yang menjadi jalan bagi militer untuk menurunkan Presiden Morsi pada 3 Juli, juga diawali dari lapangan Tahrir. Awal mulanya lapangan ini bernama Ismailia, kemudian berganti menjadi Tahrir dan nama tersebut diresmikan pada revolusi 23 Juli 1952.

Sebenarnya, lapangan Tahrir adalah bundaran yang terletak di pusat kota Kairo yang mempertemukan sekitar lima jalan besar, yakni  Jalan Tahrir, Meret Basha, Talaat Harb, Abd el-Qader Hamza dan jalan al-Kasr al-Aini yang sekarang ditutup. Lapangan Tahrir adalah bundaran yang paling luas di Mesir. Di sekitarnya terdapat bangunan-bangunan serta tempat-tempat penting, seperti Museum Mesir, Universitas Amerika Kairo, gedung pemerintahan yang biasa disebut Mugamma’, markas Liga Arab, bekas gedung Kementrian Luar Negeri, Hotel Hilton, Masjid Umar Makram, Stasiun Sadat dan gereja injili Qasr el-Dobara, serta terdapat pula kantor-kantor Kedubes asing.

Setelah setahun lamanya pemerintahan Morsi, pada 30 Juni 2013, rakyat yang antiMorsi turun kembali ke lapangan Tahrir untuk meminta Morsi agar lengser dari jabatannya. Demonstrasi kali ini adalah yang terbesar di Mesir dalam catatan sejarah. Karena bukan hanya terjadi di Tahrir saja, melainkan juga di sekitar istana kepresidenan juga di kota-kota selain Kairo. Di samping itu, ada pula yang melakukan demonstrasi mendukung Morsi di lapangan Rab’ah.

Akhirnya, Morsi diturunkan oleh  militer pada hari 3 Juli 2013. Namun setelah Morsi lengser, masalah tidak selesai begitu saja. Karena para pendukung Morsi dari Ikhwanul Muslimin (IM) masih bertahan melakukan demonstrasi di lapangan Rab’ah sampai saat ini. Mereka menginginkan agar Morsi tidak diturunkan dan kembali menjadi presiden.

Lapangan Rab’ah terletak di Nasr City. Lapangan ini sebenarnya adalah perempatan atau persimpangan dua jalan raya, yaitu jalan Nasr dan jalan el-Tayaran. Luasnya tidak seluas lapangan Tahrir. Dan disana pun tidak ada bundaran. Di sekitarnya terdapat markas militer, masjid Rab’ah, Tiba Mall dan bangunan-bangunan apartemen rumah warga.

Mungkin kali ini adalah pertama kalinya lapangan Rab’ah dijadikan tempat demonstrasi. Perempatan Rab’ah ini termasuk titik lalu lintas yang penting. Banyak dilalui oleh angkutan-angkutan umum baik bus besar, bus mini maupun microbus. Namun sejak  persimpangan Rab’ah ini dijadikan tempat demo, lalu lintas umum dialihkan ke jalan raya Youssef Abbas dan jalan-jalan kecil di sekitarnya.
 
*Tulisan ini pernah dimuat di www.republika.co.id pada Senin, 29 Juli 2013

Tata Kutuk-Mengutuk

Setelah menanti berhari-hari di pantai Air Manis, akhirnya pada suatu pagi, Mande Rubayah melihat sebuah kapal di kejauhan lepas pantai. Semakin dekat, semakin jelas bentuk-rupa kapal tersebut. Besar dan megah. Bersandarlah kapal itu di pelabuhan. Orang-orang desa berdatangan lalu berdesakan menyambut pemuda tampan nan kaya raya bersama istrinya yang turun dari kapal tersebut. Semua bersalaman. Mande Rubayah pun turut berdesakan. Ia merasa yakin bahwa pemuda itu adalah anaknya, Malin Kundang. Tanpa ragu, ia langsung memeluknya erat-erat sambil berteriak dengan suara serak tangis bahagianya. Mande Rubayah sangat berbahagia karena bertemu kembali dengan anaknya yang telah pergi lama.

“Malin Kundang anakku, mengapa begitu lama kau tinggalkan ibumu ini?” Malin kemudian terpana dengan wanita tua itu. Sebelum ia sempat berpikir, istrinya yang cantik disampingnya berkata, “Cuih! Wanita tua nan buruk inikah ibumu? Mengapa kau bohongi aku? Bukankah dulu kau katakan bahwa ibumu adalah bangsawan terhormat?” Mendengar kata-kata istrinya, Malin langsung mendorong wanita tua itu hingga tersungkur pasir. “Malin, anakku. Aku ini ibumu, nak..” Malin tak menghiraukannya. “Hai wanita tua! Ibuku tidak miskin dan kumuh seperti kau!”, kata Malin sambil menunjuki wanita tua tersebut. Malin kemudian pergi berlayar kembali bersama istri dan para anak buahnya. Mande Rubayah sangat sakit hati karena diperlakukan seperti itu oleh anaknya sendiri. Sejenak, tangannya ditengadahkan ke langit. Lalu berseru, “Ya Tuhan, kalau dia benar anakku, aku ingin Engkau mengutuknya menjadi batu.” Tidak lama kemudian, cuaca hitam memendung. Hujan turun dan seketika badai besar menghantam kapal Malin Kundang. Kapalnya hancur berkeping-keping dan Malin Kundang terpental ke pantai. Do’a Mande Rubayah dikabulkan. Malin Kundang berubah menjadi batu berbentuk manusia.

Kalau sempat dianalisa secara mendalam, dalam cerita di atas terdapat pelajaran penting, yakni tentang penyebab kedurhakaan Malin Kundang terhadap ibu kandungnya sendiri. Tidak lain penyebab itu adalah perempuan, yaitu istrinya sendiri. Malin Kundang terpengaruh oleh ejekan istrinya. Sehingga ia tidak mau mengakui ibunya yang merupakan wanita miskin lagi renta. Karena dahulu ia pernah bercerita kepada istrinya bahwa ibunya adalah bangsawan kaya raya, terhormat lagi kesohor di penjuru negeri. Walaupun memang kerap ditemukan bahwa dosa atau kesalahan laki-laki sering disebabkan oleh godaan perempuan, akan tetapi disini, penulis tidak akan menjelaskan itu, melainkan penulis akan mencoba membahas tentang kutuk-mengutuk. Dan penggalan cerita Malin Kundang di atas adalah salahsatu contoh bagaimana kutukan itu terjadi, meskipun cerita tersebut tidak seratus persen faktual.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “kutuk” memiliki arti doa atau kata-kata yang dapat mengakibatkan kesusahan atau bencana kepada seseorang; ataupun kesusahan atau bencana yang menimpa seseorang disebabkan doa atau kata-kata yang diucapkan orang lain; dan bisa pula disebut “laknat” atau “sumpah”. Jadi, mengutuk adalah mengatakan (mengenakan) kutukan kepada orang lain; begitu juga dengan melaknat dan menyumpahi. Di sana dibenarkan pula jika kata “kutuk” digunakan untuk menyatakan buruk atau salah pada seseorang. Akan tetapi, penulis lebih sepakat pada pengartian yang pertama. Dengan catatan, tata pelaksanaannya sesuai dengan cerita Malin Kundang di atas, yakni dengan melibatkan Tuhan sebagai pihak yang mengesahkan kutukan. Si pengutuk pun harus benar-benar mencapai derajat orang yang sangat dizalimi dan disakiti oleh orang yang akan dikutuk itu. Kutukan pun seyogyanya ditentukan, yakni si objek hendak dikutuk menjadi apa atau akan mengalami hal buruk apa. Walaupun dalam tatanan praktisnya, Tuhan-lah yang menentukan. Jadi, hasil kutukan itu diserahkan kepada Tuhan sepenuhnya.

Dewasa ini sering sekali ditemukan pernyataan-pernyataan yang berisi kutuk-mengutuk, baik dilakukan oleh para pribadi maupun kelembagaan. Ketika ada kejadian dan itu dilakukan oleh pihak ataupun seseorang yang menurut mereka hal tersebut tidak layak terjadi, mereka serta-merta mengeluarkan pernyataan-pernyataan kutukan. Dan orang-orang pun turut mengutuk di sana-sini. Seakan begitu mudahnya orang mengeluarkan kutukan. Padahal mengutuk adalah sesuatu yang amat rumit, seperti yang telah dijelaskan. Si pengutuk harus dalam kapasitasnya. Sedang mereka yang mudah mengutuk, sudahkah dalam kapasitasnya? telahkah punya hak untuk mengutuk? layakkah? sudahkah mereka menyadari dan mengaca diri sebelumnya? telahkah mempertimbangkan akibatnya? Pertanyaan-pernyataan ini harus dijawab dengan positif dan matang sebelum mengutuk.

Anehnya, yang mengumbar kutukan dimana-mana ini adalah orang-orang dan lembaga-lembaga yang orang-orangnya beragama Islam. Kadang, yang dikutuk pun adalah yang beragama Islam. Tentunya ini akan memperburuk citra Islam di mata dunia. Orang Islam seharusnya memperindah Islam di mata dunia sebagai laku dakwah. Bukan justru memperburuknya sehingga mempersulit laju dakwah Islam.

Dalam sebuah hadis diceritakan bahwa nabi Muhammad SAW pernah menyayangkan kematian seorang yahudi yang notabenenya akan masuk ke neraka. Beliau menyayangkan karena seorang yahudi tersebut tidak masuk Islam terlebih dahulu sebelum matinya hingga nantinya masuk ke sorga. Begitulah keteladanan Nabi dalam dakwah, memiliki rasa kasih dan sayang pada siapapun tak pandang bulu. Tidak malah merasa puas dan memaki-maki seorang yahudi yang meninggal itu karena tidak masuk Islam. Disebutkan pula bahwa Umar bin Khatthab dulu sebelum masuk Islam, dia adalah orang yang sangat sering menghina Islam. Begitu pula dengan Khalid bin Walid, sebelum menjadi muslim, dia turut berperang melawan Nabi dan pasukan kaum muslimin. Apabila saat itu Nabi membalasnya dengan kutukan bertubi-tubi, tentu dua orang itu tidak akan pernah masuk Islam dan menjadi orang yang sangat berjasa pada Allah dan Rasul-Nya.

Hiruk-pikuk pernyataan kutuk-mengutuk yang berlalu-lalang saat ini tidak penulis anggap sebagai kutukan. Melainkan tidak lebih dari umpatan dan kecaman semata. karena derajatnya tidak setara dengan Mande Rubayah atas tragedi durhaka Malin Kundang. Bagi penulis, kutuk-mengutuk adalah sesuatu yang amat sakral.

*Tulisan ini pernah dimuat di Buletin HIROGLIF LSBNU Mesir edisi Agustus 2013