20 December 2013

Bundaran Tahrir dan Perempatan Rab’ah

Pada hari Selasa 25 Januari 2011, rakyat Mesir terutama para pemuda berjejalan memenuhi lapangan Tahrir untuk melakukan aksi demonstrasi menuntut agar Hosni Mobarak mengakhiri jabatannya sebagai presiden. Gerakan yang bermula dari Facebook dan Twitter itu akhirnya berhasil setelah selama 18 hari melakukan demonstrasi.

Lapangan Tahrir menjadi saksi sejarah berakhirnya 30 tahun kepemimpinan Hosni Mobarak pada hari Jum’at 11 Februari 2011. Lalu kepemimpinan Mesir dipegang sementara oleh militer. Selanjutnya, Pemilu diselenggarakan pada tahun berikutnya, 2012. Kemudian terpilihlah Morsi sebagai presiden.

Lapangan Tahrir adalah simbol kekuatan, kekuasaan dan kemerdekaan rakyat Mesir. Setiap demonstrasi besar dilakukan di sana. Dari revolusi tahun 1919, tahun 1935, 1952, 1977,hingga revolusi 25 Januari 2011 yang menumbangkan rezim Mobarak. Bahkan demonstrasi 30 Juni  tahun ini yang menjadi jalan bagi militer untuk menurunkan Presiden Morsi pada 3 Juli, juga diawali dari lapangan Tahrir. Awal mulanya lapangan ini bernama Ismailia, kemudian berganti menjadi Tahrir dan nama tersebut diresmikan pada revolusi 23 Juli 1952.

Sebenarnya, lapangan Tahrir adalah bundaran yang terletak di pusat kota Kairo yang mempertemukan sekitar lima jalan besar, yakni  Jalan Tahrir, Meret Basha, Talaat Harb, Abd el-Qader Hamza dan jalan al-Kasr al-Aini yang sekarang ditutup. Lapangan Tahrir adalah bundaran yang paling luas di Mesir. Di sekitarnya terdapat bangunan-bangunan serta tempat-tempat penting, seperti Museum Mesir, Universitas Amerika Kairo, gedung pemerintahan yang biasa disebut Mugamma’, markas Liga Arab, bekas gedung Kementrian Luar Negeri, Hotel Hilton, Masjid Umar Makram, Stasiun Sadat dan gereja injili Qasr el-Dobara, serta terdapat pula kantor-kantor Kedubes asing.

Setelah setahun lamanya pemerintahan Morsi, pada 30 Juni 2013, rakyat yang antiMorsi turun kembali ke lapangan Tahrir untuk meminta Morsi agar lengser dari jabatannya. Demonstrasi kali ini adalah yang terbesar di Mesir dalam catatan sejarah. Karena bukan hanya terjadi di Tahrir saja, melainkan juga di sekitar istana kepresidenan juga di kota-kota selain Kairo. Di samping itu, ada pula yang melakukan demonstrasi mendukung Morsi di lapangan Rab’ah.

Akhirnya, Morsi diturunkan oleh  militer pada hari 3 Juli 2013. Namun setelah Morsi lengser, masalah tidak selesai begitu saja. Karena para pendukung Morsi dari Ikhwanul Muslimin (IM) masih bertahan melakukan demonstrasi di lapangan Rab’ah sampai saat ini. Mereka menginginkan agar Morsi tidak diturunkan dan kembali menjadi presiden.

Lapangan Rab’ah terletak di Nasr City. Lapangan ini sebenarnya adalah perempatan atau persimpangan dua jalan raya, yaitu jalan Nasr dan jalan el-Tayaran. Luasnya tidak seluas lapangan Tahrir. Dan disana pun tidak ada bundaran. Di sekitarnya terdapat markas militer, masjid Rab’ah, Tiba Mall dan bangunan-bangunan apartemen rumah warga.

Mungkin kali ini adalah pertama kalinya lapangan Rab’ah dijadikan tempat demonstrasi. Perempatan Rab’ah ini termasuk titik lalu lintas yang penting. Banyak dilalui oleh angkutan-angkutan umum baik bus besar, bus mini maupun microbus. Namun sejak  persimpangan Rab’ah ini dijadikan tempat demo, lalu lintas umum dialihkan ke jalan raya Youssef Abbas dan jalan-jalan kecil di sekitarnya.
 
*Tulisan ini pernah dimuat di www.republika.co.id pada Senin, 29 Juli 2013

Tata Kutuk-Mengutuk

Setelah menanti berhari-hari di pantai Air Manis, akhirnya pada suatu pagi, Mande Rubayah melihat sebuah kapal di kejauhan lepas pantai. Semakin dekat, semakin jelas bentuk-rupa kapal tersebut. Besar dan megah. Bersandarlah kapal itu di pelabuhan. Orang-orang desa berdatangan lalu berdesakan menyambut pemuda tampan nan kaya raya bersama istrinya yang turun dari kapal tersebut. Semua bersalaman. Mande Rubayah pun turut berdesakan. Ia merasa yakin bahwa pemuda itu adalah anaknya, Malin Kundang. Tanpa ragu, ia langsung memeluknya erat-erat sambil berteriak dengan suara serak tangis bahagianya. Mande Rubayah sangat berbahagia karena bertemu kembali dengan anaknya yang telah pergi lama.

“Malin Kundang anakku, mengapa begitu lama kau tinggalkan ibumu ini?” Malin kemudian terpana dengan wanita tua itu. Sebelum ia sempat berpikir, istrinya yang cantik disampingnya berkata, “Cuih! Wanita tua nan buruk inikah ibumu? Mengapa kau bohongi aku? Bukankah dulu kau katakan bahwa ibumu adalah bangsawan terhormat?” Mendengar kata-kata istrinya, Malin langsung mendorong wanita tua itu hingga tersungkur pasir. “Malin, anakku. Aku ini ibumu, nak..” Malin tak menghiraukannya. “Hai wanita tua! Ibuku tidak miskin dan kumuh seperti kau!”, kata Malin sambil menunjuki wanita tua tersebut. Malin kemudian pergi berlayar kembali bersama istri dan para anak buahnya. Mande Rubayah sangat sakit hati karena diperlakukan seperti itu oleh anaknya sendiri. Sejenak, tangannya ditengadahkan ke langit. Lalu berseru, “Ya Tuhan, kalau dia benar anakku, aku ingin Engkau mengutuknya menjadi batu.” Tidak lama kemudian, cuaca hitam memendung. Hujan turun dan seketika badai besar menghantam kapal Malin Kundang. Kapalnya hancur berkeping-keping dan Malin Kundang terpental ke pantai. Do’a Mande Rubayah dikabulkan. Malin Kundang berubah menjadi batu berbentuk manusia.

Kalau sempat dianalisa secara mendalam, dalam cerita di atas terdapat pelajaran penting, yakni tentang penyebab kedurhakaan Malin Kundang terhadap ibu kandungnya sendiri. Tidak lain penyebab itu adalah perempuan, yaitu istrinya sendiri. Malin Kundang terpengaruh oleh ejekan istrinya. Sehingga ia tidak mau mengakui ibunya yang merupakan wanita miskin lagi renta. Karena dahulu ia pernah bercerita kepada istrinya bahwa ibunya adalah bangsawan kaya raya, terhormat lagi kesohor di penjuru negeri. Walaupun memang kerap ditemukan bahwa dosa atau kesalahan laki-laki sering disebabkan oleh godaan perempuan, akan tetapi disini, penulis tidak akan menjelaskan itu, melainkan penulis akan mencoba membahas tentang kutuk-mengutuk. Dan penggalan cerita Malin Kundang di atas adalah salahsatu contoh bagaimana kutukan itu terjadi, meskipun cerita tersebut tidak seratus persen faktual.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “kutuk” memiliki arti doa atau kata-kata yang dapat mengakibatkan kesusahan atau bencana kepada seseorang; ataupun kesusahan atau bencana yang menimpa seseorang disebabkan doa atau kata-kata yang diucapkan orang lain; dan bisa pula disebut “laknat” atau “sumpah”. Jadi, mengutuk adalah mengatakan (mengenakan) kutukan kepada orang lain; begitu juga dengan melaknat dan menyumpahi. Di sana dibenarkan pula jika kata “kutuk” digunakan untuk menyatakan buruk atau salah pada seseorang. Akan tetapi, penulis lebih sepakat pada pengartian yang pertama. Dengan catatan, tata pelaksanaannya sesuai dengan cerita Malin Kundang di atas, yakni dengan melibatkan Tuhan sebagai pihak yang mengesahkan kutukan. Si pengutuk pun harus benar-benar mencapai derajat orang yang sangat dizalimi dan disakiti oleh orang yang akan dikutuk itu. Kutukan pun seyogyanya ditentukan, yakni si objek hendak dikutuk menjadi apa atau akan mengalami hal buruk apa. Walaupun dalam tatanan praktisnya, Tuhan-lah yang menentukan. Jadi, hasil kutukan itu diserahkan kepada Tuhan sepenuhnya.

Dewasa ini sering sekali ditemukan pernyataan-pernyataan yang berisi kutuk-mengutuk, baik dilakukan oleh para pribadi maupun kelembagaan. Ketika ada kejadian dan itu dilakukan oleh pihak ataupun seseorang yang menurut mereka hal tersebut tidak layak terjadi, mereka serta-merta mengeluarkan pernyataan-pernyataan kutukan. Dan orang-orang pun turut mengutuk di sana-sini. Seakan begitu mudahnya orang mengeluarkan kutukan. Padahal mengutuk adalah sesuatu yang amat rumit, seperti yang telah dijelaskan. Si pengutuk harus dalam kapasitasnya. Sedang mereka yang mudah mengutuk, sudahkah dalam kapasitasnya? telahkah punya hak untuk mengutuk? layakkah? sudahkah mereka menyadari dan mengaca diri sebelumnya? telahkah mempertimbangkan akibatnya? Pertanyaan-pernyataan ini harus dijawab dengan positif dan matang sebelum mengutuk.

Anehnya, yang mengumbar kutukan dimana-mana ini adalah orang-orang dan lembaga-lembaga yang orang-orangnya beragama Islam. Kadang, yang dikutuk pun adalah yang beragama Islam. Tentunya ini akan memperburuk citra Islam di mata dunia. Orang Islam seharusnya memperindah Islam di mata dunia sebagai laku dakwah. Bukan justru memperburuknya sehingga mempersulit laju dakwah Islam.

Dalam sebuah hadis diceritakan bahwa nabi Muhammad SAW pernah menyayangkan kematian seorang yahudi yang notabenenya akan masuk ke neraka. Beliau menyayangkan karena seorang yahudi tersebut tidak masuk Islam terlebih dahulu sebelum matinya hingga nantinya masuk ke sorga. Begitulah keteladanan Nabi dalam dakwah, memiliki rasa kasih dan sayang pada siapapun tak pandang bulu. Tidak malah merasa puas dan memaki-maki seorang yahudi yang meninggal itu karena tidak masuk Islam. Disebutkan pula bahwa Umar bin Khatthab dulu sebelum masuk Islam, dia adalah orang yang sangat sering menghina Islam. Begitu pula dengan Khalid bin Walid, sebelum menjadi muslim, dia turut berperang melawan Nabi dan pasukan kaum muslimin. Apabila saat itu Nabi membalasnya dengan kutukan bertubi-tubi, tentu dua orang itu tidak akan pernah masuk Islam dan menjadi orang yang sangat berjasa pada Allah dan Rasul-Nya.

Hiruk-pikuk pernyataan kutuk-mengutuk yang berlalu-lalang saat ini tidak penulis anggap sebagai kutukan. Melainkan tidak lebih dari umpatan dan kecaman semata. karena derajatnya tidak setara dengan Mande Rubayah atas tragedi durhaka Malin Kundang. Bagi penulis, kutuk-mengutuk adalah sesuatu yang amat sakral.

*Tulisan ini pernah dimuat di Buletin HIROGLIF LSBNU Mesir edisi Agustus 2013

01 May 2013

Makhluk Allah yang Paling Mulia dan Dimuliakan

Oleh: Moh. Hadi Bakri Raharjo

Allah menciptakan makhluk dan memberikan kadar kemuliaannya. Makhluk berarti segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah, bukan sebatas pada manusia saja, termasuk juga jin, malaikat, bebatuan, tanah dan semua ciptaan Allah. Jadi, diantara golongan maupun perseorangan makhluk Allah, ada diantara mereka yang paling mulia, ada pula yang paling hina, baik di dunia maupun di akhirat. Namun kesemuanya itu adalah ciptaan Allah. Allah yang menciptakan, dan Allah sendiri yang memberi kadar timbangan kemuliaan. Allah pula mengharuskan para makhluknya untuk menghormati dan memuliakan diantara mereka yang paling mulia. Siapakah makhluk Allah yang paling mulia?

Diantara makhluk Allah yang paling mulia, secara umum, diantara manusia, jin dan malaikat, di dunia dan diakhirat, karena perilakunya yang baik dan sifatnya yang sempurna, adalah Nabi Muhammad SAW. Rasul utusan Allah SWT., yang paling utama. Orang Islam semuanya bersepakat akan keutamaan Nabi Muhammad SAW., diantara para makhluk lain. Bahkan kaum Muktazilah pun menyetujuinya.

Ada sebagian yang mengatakan –diantaranya: Imam Zamahksyari- bahwa malaikat Jibril as., adalah makhluk yang paling mulia dan lebih mulia dari Nabi Muhammad SAW. Diantara alasannya adalah karena malaikat Jibril adalah yang mengajari dan menjadi guru bagi Nabi Muhammad SAW. Namun pendapat ini tidak diterima oleh mayoritas.

Nabi Muhammad SAW., pernah melarang orang lain agar jangan mengutamakan dan memuliakan dirinya diantara para nabi. Seperti yang telah disebutkan dalam hadis: “Janganlah kalian mengutamakanku diantara para nabi yang lain!”. Ada pula dalam hadis lain: “Janganlaha kalian mengutamakanku atas Yunus!”. Disebutkan pula: “Janganlah kalian memilihku atas Musa!”, dan banyak lagi hadis-hadis yang serupa. Ada sebagian yang berpendapat bahwa kalimat-kalimat yang diucapkan oleh Nabi Muhammad tersebut adalah menunjukkan bahwa beliau benar-benar tidak lebih mulia dari nabi-nabi yang lain. Ada pula yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad berkata seperti itu karena beliau belum mengetahui bahwa dirinyalah yang paling utama dan mulia di muka bumi. Akan tetapi pendapat yang paling disepakati dan diterima oleh mayoritas adalah: bahwa Nabi Muhammad mengatakan begitu adalah bermaksud menjaga adab dan tata krama serta merendah diri.

Keutamaan dan kemuliaan yang ada pada Nabi Muhammad SAW., adalah merupakan pemberian dari Allah SWT., dan bukan merupakan kekhususan yang datang dari Nabi sendiri. Dalam artian, bukan karena tingkah laku Nabi yang mulia, melainkan karena kemuliaan yang diberikan Allah SWT.

Setelah Nabi Muhammad SAW., selanjutnya makhluk Allah yang paling mulia adalah para Nabi yang lain. Maka derajat kemuliaannya dibawah Nabi Muhammad SAW. Siapakah nabi-nabi yang paling mulia setelah Nabi Muhammad itu? Mereka adalah nabi-nabi yang biasa disebut dengan Ulul Azmi, yaitu nabi-nabi yang paling berat ujian kesabarannya. Secara berurutan, mereka adalah: Nabi Ibrahim as., Nabi Musa as., Nabi Isa as., dan Nabi Nuh as. Dan setelah Ulul Azmi, yang paling mulia adalah para Rasul, yang diperintahkan Allah untuk menyampaikan risalah. Kemudian para Nabi, yaitu para manusia pilihan Allah namun tidak diperintahkan untuk menyampaikan risalah.

Selanjutnya, makhluk Allah yang paling mulia setelah Nabi Muhammad, para Rasul dan para Nabi, adalah: para Malaikat Allah. Diantara para malaikat Allah pula ada yang lebih diutamakan, yaitu para pemimpin mereka, yakni: Malaikat Jibril dan Malaikat Mika’il. Dan Malaiakat Jibril lebih diutamakan daripada Malaikat Mika’il menurut mayoritas. Selanjutnya para malaikat lainnya.

Malaikat adalah Jism yang lembut bersifat cahaya serta mampu berubah bentuk menjadi apapun. Ada yang bernaung di langit, ada pula yang bernaung di bumi. Namun malaikat yang bernaung di langit lebih banyak daripada yang di bumi. Malaikat tidak disifati dengan sifat laki-laki maupun perempuan. Barangsiapa yang berkeyakinan bahwa malaikat itu adalah laki-laki, maka dia dihukumi fasiq. Barangsiapa yang menganggap bahwa malaikat itu adalah perempuan, maka dia dihukumi kafir. Dan barangsiapa yang menghukumi bahwa malaikat itu adalah khuntsa (campuran antara laki-laki dan perempuan), maka dia dihukumi kafir, karena telah merendahkan malaikat.

Menurut Maturidiyah, para Nabi lebih mulia daripada para pemimpin malaikat, seperti Jibril dan Mika’il. Para pemimpin malaikat lebih utama daripada manusia yang cerdas, yaitu para wali Allah selain para Nabi, seperti: Abu Bakar ra., dan Umar ra. Dan mereka para wali lebih mulia daripada para malaikat selain para pemimpinnya.

Pendapat Maturidiah di atas menuai kontroversi, karena mengutamakan yang bukan maksum daripada yang maksum. Maksum adalah makhluk yang dijaga oleh Allah dari perbuatan dosa. Maturidiyah mengutamakan wali Allah yang bukan maksum daripada malaikat yang maksum. Akan tetapi, mereka (maturidiyah) menjawab bahwa: ihwal maksum tidak ada hubungannya dengan pengutamaan dan pemuliaan, karena yang dilihat adalah: pahala yang didapatkan dari ibadah. Para wali Allah lebih banyak mendapat pahala dalam beribadah daripada para malaikat, karena tingkat kesulitan para wali Allah lebih tinggi daripada malaikat.

Kesimpulannya, telah disepakati bahwa: Nabi Muhamad SAW., adalah makhluk Allah paling utama dan mulia diantara para makhluk Allah yang lain secara mutlak. Selanjutnya adalah: para nabi yang bergelar Ulul Azmi, yaitu: Nabi Ibrahim as., Nabi Musa as., Nabi Isa as., dan Nabi Nuh as. Setelah itu, para Rasul utusan Allah dan para Nabi manusia pilihan Allah SWT. Kemudian malaikat Jibril as., malaikat Mika’il as., dan para pemimpin malaikat. Lalu para wali Allah, disusul para malaikat lainnya. Mereka adalah para makhluk Allah yang paling mulia dan dimuliakan.

Sumber: Tuhfatul Muriid ‘alaa Jauharoh al-Tauhiid, karya Imam Ibrahim al-Bajuuri

20 April 2013

Pergerakan Perempuan



Pada masa itu, Raden Ajeng Kartini dikekang pergerakannya oleh feodalisme ayahnya. Namun kala itu pula, dia mampu menggugah kesadaran masyarakat pada saat itu, dengan merubah pola pikir keliru yang menyebutkan bahwa perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan, dengan pola pikir maju yang menuntut kaum perempuan untuk juga merasakan pendidikan di sekolah. Tidak hanya di Sekolah Rendah, melainkan harus dapat melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, seperti halnya kaum laki-laki. Menurutnya, pendidikan tinggi bagi kaum wanita itu sangat penting untuk kemajuan bangsa Indonesia.

Lambat laun, perempuan Indonesia dari satu ke dua orang dan seterusnya, berkat surat-surat yang ditulis oleh RA. Kartini dari dalam kamarnya untuk perempuan seluruh dunia, mereka membuka mata, mengangkat tangan, dan bergerak untuk memajukan kaum perempuan mewujudkan cita-cita Kartini. Hingga berawal dari Putri Mardika, sebuah organisasi formal perempuan yang didirikan di Jakarta pada tahun 1912, organisasi-organisasi formal perempuan pun bermunculan di berbagai daerah.

Kemajuan pergerakan perempuan di Indonesia sebelum tahun 1920 dapat dikatakan lamban karena kurangnya sekolah-sekolah untuk wanita pribumi, jikapun ada, kadang tidak diizinkan oleh orangtua, baik karena alasan agar para perempuan membantu orangtua di rumah, maupun karena alasan adat dan tradisi yang menganggap tabu akan keterlibatan perempuan dalam pergerakan.

Sesudah tahun 1920 jumlah organisasi wanita bertambah banyak. Kesediaan mereka untuk terlibat dalam kegiatan organisasi makin meningkat dan kecakapan berorganisasipun bertambah maju. Hal ini  disebabkan karena kesempatan belajar makin meluas dan berkembang ke lapisan bawah. Dengan demikian jumlah wanita yang mampu bergerak di bidang sosial politik juga bertambah luas dan tidak lagi terbatas kepada lapisan atas saja. Oleh sebab semuanya itu, maka sesudah tahun 1920 dapat dilihat jumlah perkumpulan wanita bertambah banyak sekali, bahkan organisasi-organisasi sosial politik seperti P.K.I., S.I., NU dan Muhammadiyah mempunyai bagian wanita. Perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai tujuan yang sama, ialah untuk belajar masalah kepandaian putri  yang khusus dan berperan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

Menjelang tahun 1928, organisasi wanita berkembang  lebih pesat. Sikap yang dinyatakan oleh organisasi-organisasi wanita pada waktu itu, umumnya lebih tegas, berani dan terbuka. Perkembangan ke arah politik makin tampak, terutama yang menjadi bagian dari S.I. (Sarekat- Islam), P.K.I. (Partai Komunis Indonesia), P.N.I. (Partai Nasional Indonesia) dan PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia). Walaupun begitu, para perempuan ikut bahu membahu mengangkat senjata bersama laki-laki melawan penjajah. Dan ini merupakan inspirasi bagi generasi perempuan selanjutnya untuk melakukan sebuah gerakan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan dan ketidak-adilan.

Kebanyakan, tujuan daripada didirikannya organisasi pergerakan perempuan adalah untuk menggalakkan pendidikan dan pengajaran bagi wanita, perbaikan kedudukan sosial dalam perkawinan dan keluarga, serta meningkatkan kecakapan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.

Hari Ibu

Awalnya, 22 Desember 1928 adalah hari diselenggarakannya Kongres Perempuan. Kongres Perempuan Indonesia tingkat nasional yang pertama, yang diadakan pada tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta, dimana hampir 30 organisasi perempuan yang hadir pada saat itu. Kongres akbar yang menjadi fondasi pertama gerakan perempuan tersebut menghasilkan federasi organisasi yang bernama Persatoean Perempoean Indonesia (PPI) yang pada tahun berikutnya berubah nama menjadi PPII (Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia).

22 Desember adalah hari dimana perempuan memperoleh ruang keterlibatan dalam dialektika masyarakat, salahsatunya adalah keterlibatan dalam perjuangan kemerdekaan. Kemudian tanggal ini diperingati setiap tahun sebagai hari Ibu, yang terkesan sebatas hubungan antara ibu dan anak. Penyempitan makna ini merubah nyawa tanggal tersebut, dimana yang tadinya adalah nyawa sosial-politik dalam masyarakat, menjadi nyawa yang bersifat personal.

Peranan seorang istri dan ibu “yang baik” sangat diutamakan, dan agar bisa mengemban tugasnya dengan baik kaum wanita dianjurkan untuk memperoleh pendidikan yang baik, dan mempelajari keterampilan yang sangat diperlukan seperti menjahit pakaian dan mengasuh anak. Pendidikan sangatlah penting bagi perempuan, karena peran ibu dalam mendidik anak sangatlah dominan dibanding ayah.

Fenomena gerakan perempuan di tahun 1960-an dinisbahkan pada Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) sebuah organisasi perempuan yang kerap dinilai oleh banyak sejarawan adalah organisasi perempuan yang memiliki pemahaman ideologi kiri. Pada masa Sukarno, ideologi kiri adalah zeitgeist (jiwa zaman), Sukarno mengobarkan seluruh agenda-agenda politik dibawa ke pergerakan rakyat, rakyat diharuskan memiliki tingkat melek politik yang tinggi sehingga rakyat menjadi terlibat atas persoalan-persoalan nasional. Saat itu Gerwani menjadi corong utama atas kritik-kritik kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Seperti kenaikan harga BBM dan harga beras menjadi salah satu penyebab Gerwani kerap turun berdemo di jalan-jalan menuntut pemerintah menyelesaikan problem-problem yang menyulitkan rakyat banyak.

Pada masa Orde Baru gerakan perempuan dikembangkan menjadi dua arah, pertama menjadi pelayan atas kepentingan birokrasi dan struktur kekuasaan yang menopang alur komando yaitu : Dharma Wanita, dan yang kedua, menjadi sumber beras bantuan pemerintah untuk kerja-kerja sukarelawan, gerakan ini dinamakan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK).

Sementara Dharma Wanita dan PKK menjadi inti pergerakan perempuan yang dikendalikan oleh negara, maka kenangan akan hari ibu didomestifikasi, pada tahun 1950-an maksud Sukarno menjadikan hari jadi 22 Desember sebagai hari Ibu, dari sisi pemaknaan dikarenakan soal ‘redaksional’,  kaum perempuan disebut juga sebagai kaum Ibu, disini “Tubuh seorang Ibu adalah Tubuh Perempuan bukan sekedar sebagai tempat beranak dan membesarkan”.  Namun di jaman Orde Baru, pemaknaan hari Ibu menjadi sekedar perempuan yang memiliki anak dan menjadi “Hari Terima Kasih Anak Pada Ibunya” penyempitan ini ditujukan dalam pesan-pesan halusnya sebagai “Pengurungan Keterlibatan aktif perempuan dalam Politik”.

***

Perempuan masih belum bebas dan berdaulat atas tubuhnya, atas pikirannya dan atas kehendaknya sendiri dalam menentukan kehidupan. Kedaulatan perempuan atas tubuhnya inilah yang menjadi titik awal kesadaran perempuan pada dirinya dan posisinya ditengah masyarakat. Perempuan harus turut andil dalam kegiatan sosial masyarakat, semisal menjadi guru, perawat, bidan, pegawai dan lain sebagainya. Di samping sebagai pengabdian, juga turut mencari nafkah.

Rakyat dan kaum pergerakan rakyat harus selalu menjadikan pembangunan gerakan dan organisasi perempuan sebagai bagian tak terpisahkan dari setiap wadah/organisasi/ komunitas dan perjuangan kita. Di setiap organisasi rakyat, semestinya mereka memberikan dukungan dan kesempatan bagi kawan perempuan untuk aktif di organisasi sekaligus aktif dalam konsolidasi perempuan. Konsolidasi perempuan dalam bentuk departemen atau bidang khusus perempuan, maupun dalam bentuk organisasi perempuan. Konsolidasi perempuan semacam ini, dalam sejarah awal Indonesia terbukti sanggup menguatkan gerakan perempuan dan sekaligus gerakan rakyat.

Pun di setiap lingkungan atau komunitas masyarakat, seharus dan sepatutnya mereka memberikan dukungan dan memberi kesempatan bagi perempuan untuk semaksimal mungkin berkarya bagi diri dan masyarakatnya. Termasuk di dalamnya adalah kesempatan untuk menjadi pimpinan. Anak dan keturunan kita akan melihat dan belajar bagaimana perempuan dan laki-laki hidup setara dalam mayarakat, dan menjadi landasan bagi pemutusan rantai kekerasan terhadap perempuan. Karena pemenuhan hak rakyat selalu datang dari perjuangan rakyat, begitu juga terhadap pemenuhan hak perempuan.

Jika perempuan hanya dimaksudkan sebagai penunjang aktualisasi potensi laki-laki, membantu suami di rumah, memelihara martabat, rahasia, keturunan, dan harta laki-laki. Maka tak akan heran, jika pasar perbudakan perempuan akan meluas antar benua.

*Dari berbagai sumber.

06 April 2013

Ketika Dibacakan al-Qur’an, Diam dan Dengarkanlah!

Ketika Dibacakan al-Qur’an, Diam dan Dengarkanlah!
(Studi Ayat 204 Surat al-A’raf)
Oleh: Moh. Hadi Bakri Raharjo

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan al-Qur’an, maka dengarkanlah (baik-baik) dan diamlah (memperhatikan) dengan tenang agar kamu sekalian dirahmati.” QS. Al-A’raf: 204

Allah SWT. mengagungkan al-Qur’an dengan ayat: هَذَا بَصائِرُ مِنْ رَبِّكُمْ (al-Quran ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu) pada ayat sebelumnya, yakni ayat 203 surat al-A’raf, kemudian diteruskan dengan ayat selanjutnya, ayat 204. Sekiranya dapat kita dapatkan beberapa pembahasan dalam ayat 204 ini, diantara adalah sebagai berikut:

Ø Bahasan Pertama
Lafadz الإنصات dalam ayat tersebut bermakna: diam dan mendengarkan dengan baik/memperhatikan.

Ø Bahasan Kedua
Tidak ada keraguan bahwasanya lafadz فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا adalah bentuk perintah sebagai kewajiban, maksudnya adalah: diam dan mendengarkan ketika dibacakan al-Qur’an adalah wajib. Namun ada beberapa pendapat pada bahasan ini, diantaranya:
1.   Pendapat pertama, pendapat imam al-Hasan dan ahlu dzahir: Perintah pada ayat ini adalah umum, jadi kapanpun, dimanapun dan dalam keadaan apapun, ketika dibacakan al-Qur’an, maka ‘wajib’ diam dan mendengarkan.
2.   Pendapat kedua: Ayat ini turun untuk melarang dan mengharamkan ‘berbicara’ dalam shalat. Karena pada waktu itu terdapat para sahabat Nabi yang berbicara ketika sedang shalat. Seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA. : “Mereka (para sahabat) berbicara di dalam shalat, maka turunlah ayat ini dan diperintahkan untuk diam.”
3.   Pendapat ketiga: Ayat itu turun untuk para makmum agar tidak membaca bacaan shalat dengan keras dibelakang imam. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas RA. : Rasulullah SAW. Membaca (bacaan shalat) di shalat fardlu, dan para sahabat membacanya di belakang mengangkat suaranya dan bercampurlah (antara bacaan Rasulullah dan para sahabat). Pendapat ini merupakan pendapat imam Abu Hanifah dan murid-muridnya.
4.   Pendapat keempat: Ayat tersebut turun agar orang-orang ‘diam’ ketika khutbah. Pendapat ini adalah pendapat Sa’id ibn Zubair, Mujahid dan ‘Atho’. Pendapat ini dinukil dari pendapatnya Imam Syafi’I RA.

Ø Bahasan Ketiga
Para ahli fikih sepakat atas bolehnya mengkhususkan sesuatu yang ‘umum’ di dalam al-Qur’an dengan satu hadis Nabi (khabar wahid). Bentuk yang umumnya adalah: وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ ; mewajibkan diamnya makmum atas bacaan imam, kecuali membaca surat al-Fatihah, sesuai dengan hadis Nabi: “Tidak ada (dikatakan) shalat bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah.”, dan “Tidak ada shalat kecuali dengan (membaca) al-Fatihah.”. Hadis Nabi tersebut mengkhususkan ‘umum’nya al-Qur’an, dan meneguhkan bahwa mengkhususkan ‘umum’nya al-Qur’an dengan khabar wahid (satu hadis Nabi) adalah lazim (harus).

Ø Bahasan Keempat
Madzhab Imam Malik RA. yang merupakan pendapat pertama (qoul qadim) bagi Imam Syafi’I RA., yaitu: Makmum tidak boleh membaca surat al-Fatihah pada sholat-sholat yang bacaannya dibaca sejara jahr (lantang) --sesuai dengan ayat tersebut--, dan wajib atas makmum membaca surat al-Fatihah pada shalat-shalat yang bacaannya dibaca secara sirri (pelan), karena dalam ayat tersebut tidak menunjukkan keharusan diam ketika tidak mendengarkan bacaan imam.

Ø Bahasan Kelima
Objek yang dituju oleh ayat وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ adalah orang-orang kafir pada permulaan dakwah Rasulullah SAW., dan (objeknya) bukan merupakan orang-orang Islam. Allah SWT. telah menjelaskankan pada sebelum ayat ini tentang: bahwa sesungguhnya kaum-kaum kafir meminta ayat-ayat khusus dan mukjizat-mukjizat khusus. Dan ketika Nabi tidak mendatangkannya kepada mereka, mereka berkata: “kalau tidak, kami yang memilihkannya”. Kemudian Allah SWT. memerintahkan Nabi agar menjawab perkataan mereka dengan: “sesungguhnya itu bukan tugasku untuk menanyakannya pada Tuhanku, dan bukanlah tugasku pula kecuali aku menunggu wahyu.”. Lalu Allah SWT. menjelaskan kepada Nabi, agar meninggalkan permintaan mereka akan mukjizat-mukjizat khusus tersebut yang dimaksudkan untuk meragukan kenabian, karena al-Qur’an sudah merupakan mukjizat yang sempurna dan lebih dari cukup sebagi tanda kenabian. Barulah Allah mengungkapkan makna dari penjelasan tersebut dengan firman-Nya: هَذَا بَصَائِرُ مِنْ رَبِّكُمْ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ, dan firman-Nya: وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ.

Pada bahasan terdahulu, tentang bacaan makmum dibelakang imam, bisa dilihat: antara ayat 204 dan ayat sebelumnya, 203 tidak ada hubungannya samasekali dari segi konteks apapun. Bahasan tersebut dinilai merusak tatanan yang benar. Maka harus ada konteks lain selain bahasan bacaan makmum dan imam tersebut. Dan konteks yang benar adalah: Ketika al-Qur’an dianggap sebagai bukti, petunjuk dan rahmat, dari sisi mukjizat yang menunjukkan atas kebenaran Nabi Muhammad SAW., maka tidak akan jelas kecuali dengan syarat pengkhususan, yaitu: Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. ketika membaca al-Qur’an pada orang-orang kafir tersebut, mereka (orang-orang kafir) diam dan mendengarkannya dengan baik sehingga berhentilah kefasihan bicaranya ketika itu. Dan ketika jelas bagi mereka bahwa mukjizat itu (al-Qur’an) telah menunjukkan kebenaran Nabi, mereka meminta lagi mukjizat-mukjizat lain. Dan dijelaskannya kepada mereka tentang sifat al-Qur’an: هَذَا بَصَائِرُ مِنْ رَبِّكُمْ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ.

Dapat diambil kesimpulan dan dapat pula ditetapkan, jika memakai konteks yang terakhir atau bahasan yang kelima, maka dapat ditemukan tatanan yang baik dan menghasilkan susunan yang benar. Namun jika dimasukkan konteks: bacaan makmum dibalakang imam, maka dinilai merusak susunan yang baik dan benar tersebut.

Sumber: Tafsir al-Kabir karya Fakhruddin al-Razi

01 March 2013

Orang-orang Muslim (al-Muslimun): Makna Hakiki dan Pergeseran Makna

Oleh: Moh. Hadi Bakri Raharjo

<< يآأيها الذين ءامنوا اتقوا الله حق تقاته، ولاتموتن إلا وأنتم مسلمون>>
“Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa.
Dan janganlah sampai kalian mati kecuali kalian adalah orang-orang muslim."

Perilaku dominan manusia dalam hidup adalah kemampuannya dalammempengaruhidan mewarnai. Mereka dapat menggiring opini-opini. Mengajak orang lain untuk ikut pada pendapat atau terhadap apa yang mereka inginkan. Namun kebanyakan dari manusia: memandang suatu hal dan menganggapnya baik padahal sebenarnya hal itu buruk, memastikannya buruk padahal sesungguhnya itu baik, menganggap itu sebuah kekurangan padahal merupakan suatu kemuliaan, mengira itu mulia padahal tidak, dan lain sebagainya. Banyak sekali yang mereka anggap tidak sesuai dengan hakikat atau isinya. Karena mereka merasa cukup untuk melihat luar atau kulitnya saja tanpa melihat isinya.

Barangkali hal tersebut dikembalikan pada: bahwa kebanyakan pengertian atau definisi berasal dari lingkungan tertentu dan tumbuh dengan hawa nafsu, tashawur yang buruk, atau tujuan yang tidak baik. Atau barangkali muncul dari kenyataan yang benar dan berkembang secara baik kemudian bertolak belakang. Dan manusia menerima kekeliruan tersebut lalu dilanjutkannya dengan penyebarluasan diantara mereka. Bahkan dijadikan pedoman hukum yang dita’ati dan tidak mungkin dipungkiri. Akhirnya banyak terjadi kesalahpahaman atau bisa dikatakan pula pemahaman yang gagal.

Bukanlah suatu ‘kebiasaan’ (al-‘urf) yang menyebabkan segalanya itu tidak sesuai dengan hakikat maknanya dan berubah dari kedudukan sebenarnya; yang dampaknya terjadi pada perilaku individu, kondisi sosial masyarakat atau cara hidup. Akan tetapi yang menyebabkannya adalah ke-umum-an fenomena tersebut yang telah menjalar, merambat dan mendarah daging. Bahkan fenomena demikian berdampak pula pada: maksud atau arti dan makna suatu kalimat yang sebenarnya.

Imam al-Ghazali mengatakan bahwa suatu kebiasaan telah banyak merubah makna-makna kalimat yang terdapat dalam kitab-kitab suci. Sedikit maupun banyak telah mengalami berbagai perubahan. Imam al-Ghozali menyebutkan beberapa contoh, misalnya: al-fiqh, al-‘ilmu, al-tauhid dan al-hikmah.Salah satunya, al-‘ilmu. Maknanya yang asli adalah pengetahuan tentang keagungan Allah dan keindahanNya dengan cara memahami rahasianya dari ciptaanNya. Kemudian berubah menjadi suatu kesibukan berupa perdebatan dalam masalah fikih. Sehingga orang yang mahir dalam perdebatan tersebut dikatakan sebagai ahli ilmu. Sedangkan orang yang tidak begitu mahir dalam perdebatan fikih tidak dikategorikan sebagai ahli ilmu, walaupun telah mengetahui hakikat ciptaan Allah sesuai dengan makna al-‘ilmu yang sebenarnya. Begitu pula dengan kalimat lain yang bernasib sama dengan al-‘ilmu.

Ketika Imam al-Ghazali mengatakan demikian, maka Syaikh Mahmud Syaltut melihat pula bahwa pada kalimat al-Muslimun (orang-orang muslim) dalam ayat al-Qur’an diatas juga terdapat kelainan makna. Kalimat al-Muslimun sudah punya makna sendiri yang berlainan dengan makna sesungguhnya yang sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Allah SWT. Diantaranya, orang-orang mengatakan bahwa al-muslimun adalah bermakna al-awwalun (orang-orang pertama atau pendahulu).

Dalam hal ini, Syaikh Mahmud Syaltut menyebutkan beberapa perkembangan perubahan makna dari kalimat al-muslimun. Kami akan jelaskan perkembangan pertama akan makna al-muslimun. Karena perkembangan ini dinilai paling dekat dengan kebenaran atau hakikat maknanya. Pada perkembangan pertama, makna asli atau sesuai dengan apa yang dimaksudkan dari kalimat al-muslimun, adalah merupakan hubungan-hubungan antara manusia dengan sesuatu yang lain baik di luar maupun di dalam dirinya. Baik itu hubungan dengan diri sendiri, sesama manusia maupun dengan Tuhan. Dan berikut ini adalah penjelasan tentang macam-macam hubungan manusia tersebut.

Hubungan yang pertama, adalah hubungan manusia dengan Tuhannya dari sisi keimanan. Diantaranya adalah: menghadirkan keagunganNya, melihatNya dalam segala hal (ihsan), menuruti perintahNya, merasa takut jika menjauhiNya, dan berkorban untukNya secara benar dan untuk kebenaran. Bisa ditarik kesimpulan bahwa hubungan ini adalah merupakan hubungan penghambaan manusia.

Hubungan yang kedua, adalah hubungan manusia dengan dirinya sendiri, yaitu bagaimana manusia menjaga dirinya sendiri dari berbagai macam kerusakan, menerima apa yang telah ditimpa dari Allah SWT., serta terus berusaha mencari petunjuk agar bisa melalui kehidupan dengan baik.

Hubungan yang ketiga, adalah hubungan manusia dengan saudaranya sesama muslim. Hubungan dalam saling tolong menolong dalam kebaikan serta keikhlasan dalam melakukannya.

Hubungan yang keempat, adalah hubungan manusia dengan sesama manusia. Hubungan dalam mengajak kepada kebaikan dan amar ma’ruf nahi munkar serta membawanya dari kegelapan menuju cahaya.

Kemudian masih pada perkembangan pertama pula, kalimat al-muslimun memiliki makna yang merupakan perilaku ikhlas lillaahi ta’ala dalam berakidah, beriman dan beramal. Dan berikut ini adalah beberapa pengertian tentang ikhlas dalam beriman, beramal maupun keduanya.

Ikhlas dalam beriman atau berakidah memiliki artian: tidak ada tujuan lain kecuali Allah SWT., tidak mengharap pada sebab lain pada suatu kejadian kecuali AllahSWT., serta tidak menghamba kepada selain Allah Ta’ala. Sedangkan ikhlas dalam beramal adalah: manusia tidak memiliki tujuan atau hasrat lain dengan apa yang mereka lakukan kecuali mengharap ridha Allah SWT.

Adapun ikhlas dalam beriman dan beramal, yang merupakan penggabungan keduanya, adalah; menggunakan akal untuk beriman dan berakidah dengan baik, membersihkan dan mensucikan diri dengan perilaku (akhlak) yang terpuji. Sehingga manusia dan masyarakatnya senantiasa dijaga oleh Allah SWT dengan kemuliaanNya. Wallaahu A’lam. []

Sumber: Min Taujihat al- Islam karya al-Syaikh Mahmud Syaltut