Setelah menanti berhari-hari di pantai Air Manis, akhirnya pada suatu
pagi, Mande Rubayah melihat sebuah kapal di kejauhan lepas pantai. Semakin
dekat, semakin jelas bentuk-rupa kapal tersebut. Besar dan megah. Bersandarlah
kapal itu di pelabuhan. Orang-orang desa berdatangan lalu berdesakan menyambut
pemuda tampan nan kaya raya bersama istrinya yang turun dari kapal tersebut.
Semua bersalaman. Mande Rubayah pun turut berdesakan. Ia merasa yakin bahwa
pemuda itu adalah anaknya, Malin Kundang. Tanpa ragu, ia langsung memeluknya
erat-erat sambil berteriak dengan suara serak tangis bahagianya. Mande Rubayah
sangat berbahagia karena bertemu kembali dengan anaknya yang telah pergi lama.
“Malin Kundang anakku, mengapa begitu lama kau tinggalkan ibumu ini?”
Malin kemudian terpana dengan wanita tua itu. Sebelum ia sempat berpikir,
istrinya yang cantik disampingnya berkata, “Cuih! Wanita tua nan buruk inikah
ibumu? Mengapa kau bohongi aku? Bukankah dulu kau katakan bahwa ibumu adalah
bangsawan terhormat?” Mendengar kata-kata istrinya, Malin langsung mendorong
wanita tua itu hingga tersungkur pasir. “Malin, anakku. Aku ini ibumu, nak..”
Malin tak menghiraukannya. “Hai wanita tua! Ibuku tidak miskin dan kumuh
seperti kau!”, kata Malin sambil menunjuki wanita tua tersebut. Malin kemudian
pergi berlayar kembali bersama istri dan para anak buahnya. Mande Rubayah
sangat sakit hati karena diperlakukan seperti itu oleh anaknya sendiri.
Sejenak, tangannya ditengadahkan ke langit. Lalu berseru, “Ya Tuhan, kalau dia
benar anakku, aku ingin Engkau mengutuknya menjadi batu.” Tidak lama kemudian,
cuaca hitam memendung. Hujan turun dan seketika badai besar menghantam kapal
Malin Kundang. Kapalnya hancur berkeping-keping dan Malin Kundang terpental ke
pantai. Do’a Mande Rubayah dikabulkan. Malin Kundang berubah menjadi batu
berbentuk manusia.
Kalau sempat dianalisa secara mendalam, dalam cerita di atas terdapat
pelajaran penting, yakni tentang penyebab kedurhakaan Malin Kundang terhadap
ibu kandungnya sendiri. Tidak lain penyebab itu adalah perempuan, yaitu
istrinya sendiri. Malin Kundang terpengaruh oleh ejekan istrinya. Sehingga ia
tidak mau mengakui ibunya yang merupakan wanita miskin lagi renta. Karena dahulu
ia pernah bercerita kepada istrinya bahwa ibunya adalah bangsawan kaya raya,
terhormat lagi kesohor di penjuru negeri. Walaupun memang kerap ditemukan bahwa
dosa atau kesalahan laki-laki sering disebabkan oleh godaan perempuan, akan
tetapi disini, penulis tidak akan menjelaskan itu, melainkan penulis akan
mencoba membahas tentang kutuk-mengutuk. Dan penggalan cerita Malin Kundang di
atas adalah salahsatu contoh bagaimana kutukan itu terjadi, meskipun cerita
tersebut tidak seratus persen faktual.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “kutuk” memiliki arti doa
atau kata-kata yang dapat mengakibatkan kesusahan atau bencana kepada
seseorang; ataupun kesusahan atau bencana yang menimpa seseorang disebabkan doa
atau kata-kata yang diucapkan orang lain; dan bisa pula disebut “laknat” atau
“sumpah”. Jadi, mengutuk adalah mengatakan (mengenakan) kutukan kepada orang
lain; begitu juga dengan melaknat dan menyumpahi. Di sana dibenarkan pula jika
kata “kutuk” digunakan untuk menyatakan buruk atau salah pada seseorang. Akan
tetapi, penulis lebih sepakat pada pengartian yang pertama. Dengan catatan,
tata pelaksanaannya sesuai dengan cerita Malin Kundang di atas, yakni dengan
melibatkan Tuhan sebagai pihak yang mengesahkan kutukan. Si pengutuk pun harus
benar-benar mencapai derajat orang yang sangat dizalimi dan disakiti oleh orang
yang akan dikutuk itu. Kutukan pun seyogyanya ditentukan, yakni si objek hendak
dikutuk menjadi apa atau akan mengalami hal buruk apa. Walaupun dalam tatanan
praktisnya, Tuhan-lah yang menentukan. Jadi, hasil kutukan itu diserahkan
kepada Tuhan sepenuhnya.
Dewasa ini sering sekali ditemukan pernyataan-pernyataan yang berisi
kutuk-mengutuk, baik dilakukan oleh para pribadi maupun kelembagaan. Ketika ada
kejadian dan itu dilakukan oleh pihak ataupun seseorang yang menurut mereka hal
tersebut tidak layak terjadi, mereka serta-merta mengeluarkan
pernyataan-pernyataan kutukan. Dan orang-orang pun turut mengutuk di sana-sini.
Seakan begitu mudahnya orang mengeluarkan kutukan. Padahal mengutuk adalah
sesuatu yang amat rumit, seperti yang telah dijelaskan. Si pengutuk harus dalam
kapasitasnya. Sedang mereka yang mudah mengutuk, sudahkah dalam kapasitasnya?
telahkah punya hak untuk mengutuk? layakkah? sudahkah mereka menyadari dan
mengaca diri sebelumnya? telahkah mempertimbangkan akibatnya?
Pertanyaan-pernyataan ini harus dijawab dengan positif dan matang sebelum
mengutuk.
Anehnya, yang mengumbar kutukan dimana-mana ini adalah orang-orang dan
lembaga-lembaga yang orang-orangnya beragama Islam. Kadang, yang dikutuk pun
adalah yang beragama Islam. Tentunya ini akan memperburuk citra Islam di mata
dunia. Orang Islam seharusnya memperindah Islam di mata dunia sebagai laku
dakwah. Bukan justru memperburuknya sehingga mempersulit laju dakwah Islam.
Dalam sebuah hadis diceritakan bahwa nabi Muhammad SAW pernah
menyayangkan kematian seorang yahudi yang notabenenya akan masuk ke neraka.
Beliau menyayangkan karena seorang yahudi tersebut tidak masuk Islam terlebih
dahulu sebelum matinya hingga nantinya masuk ke sorga. Begitulah keteladanan
Nabi dalam dakwah, memiliki rasa kasih dan sayang pada siapapun tak pandang
bulu. Tidak malah merasa puas dan memaki-maki seorang yahudi yang meninggal itu
karena tidak masuk Islam. Disebutkan pula bahwa Umar bin Khatthab dulu sebelum
masuk Islam, dia adalah orang yang sangat sering menghina Islam. Begitu pula
dengan Khalid bin Walid, sebelum menjadi muslim, dia turut berperang melawan
Nabi dan pasukan kaum muslimin. Apabila saat itu Nabi membalasnya dengan
kutukan bertubi-tubi, tentu dua orang itu tidak akan pernah masuk Islam dan
menjadi orang yang sangat berjasa pada Allah dan Rasul-Nya.
Hiruk-pikuk pernyataan kutuk-mengutuk yang berlalu-lalang saat ini
tidak penulis anggap sebagai kutukan. Melainkan tidak lebih dari umpatan dan
kecaman semata. karena derajatnya tidak setara dengan Mande Rubayah atas
tragedi durhaka Malin Kundang. Bagi penulis, kutuk-mengutuk adalah sesuatu yang
amat sakral.
*Tulisan ini pernah dimuat di Buletin HIROGLIF LSBNU Mesir edisi Agustus 2013
0 komentar:
Post a Comment