Ketika Dibacakan al-Qur’an, Diam dan Dengarkanlah!
(Studi Ayat 204 Surat al-A’raf)
Oleh: Moh. Hadi Bakri Raharjo
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا
لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila
dibacakan al-Qur’an, maka dengarkanlah (baik-baik) dan diamlah (memperhatikan)
dengan tenang agar kamu sekalian dirahmati.” QS. Al-A’raf: 204
Allah SWT. mengagungkan al-Qur’an dengan ayat: هَذَا
بَصائِرُ مِنْ رَبِّكُمْ (al-Quran ini adalah bukti-bukti yang nyata dari
Tuhanmu) pada ayat sebelumnya, yakni ayat 203 surat al-A’raf, kemudian
diteruskan dengan ayat selanjutnya, ayat 204. Sekiranya dapat kita dapatkan beberapa pembahasan dalam ayat 204 ini,
diantara adalah sebagai berikut:
Ø
Bahasan Pertama
Lafadz الإنصات dalam ayat tersebut bermakna: diam dan
mendengarkan dengan baik/memperhatikan.
Ø
Bahasan Kedua
Tidak ada keraguan bahwasanya lafadz فَاسْتَمِعُوا لَهُ
وَأَنْصِتُوا adalah bentuk perintah sebagai kewajiban,
maksudnya adalah: diam dan mendengarkan ketika dibacakan al-Qur’an adalah
wajib. Namun ada beberapa pendapat pada bahasan ini, diantaranya:
1.
Pendapat pertama, pendapat imam al-Hasan dan ahlu dzahir: Perintah pada ayat ini
adalah umum, jadi kapanpun, dimanapun dan dalam keadaan apapun, ketika
dibacakan al-Qur’an, maka ‘wajib’ diam dan mendengarkan.
2.
Pendapat kedua: Ayat ini turun untuk melarang dan mengharamkan ‘berbicara’ dalam
shalat. Karena pada waktu itu terdapat para sahabat Nabi yang berbicara ketika
sedang shalat. Seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA. : “Mereka (para
sahabat) berbicara di dalam shalat, maka turunlah ayat ini dan diperintahkan
untuk diam.”
3.
Pendapat ketiga: Ayat itu turun untuk para makmum agar tidak membaca bacaan shalat
dengan keras dibelakang imam. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas RA. :
Rasulullah SAW. Membaca (bacaan shalat) di shalat fardlu, dan para sahabat
membacanya di belakang mengangkat suaranya dan bercampurlah (antara bacaan
Rasulullah dan para sahabat). Pendapat ini merupakan pendapat imam Abu Hanifah
dan murid-muridnya.
4.
Pendapat keempat: Ayat tersebut turun agar orang-orang ‘diam’ ketika khutbah.
Pendapat ini adalah pendapat Sa’id ibn Zubair, Mujahid dan ‘Atho’. Pendapat ini
dinukil dari pendapatnya Imam Syafi’I RA.
Ø
Bahasan Ketiga
Para ahli fikih sepakat atas bolehnya
mengkhususkan sesuatu yang ‘umum’ di dalam al-Qur’an dengan satu hadis Nabi
(khabar wahid). Bentuk yang umumnya adalah: وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا
لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ ; mewajibkan diamnya makmum atas bacaan imam, kecuali membaca
surat al-Fatihah, sesuai dengan hadis Nabi: “Tidak ada (dikatakan) shalat bagi
orang yang tidak membaca al-Fatihah.”, dan “Tidak ada shalat kecuali dengan
(membaca) al-Fatihah.”. Hadis Nabi tersebut mengkhususkan ‘umum’nya al-Qur’an,
dan meneguhkan bahwa mengkhususkan ‘umum’nya al-Qur’an dengan khabar wahid
(satu hadis Nabi) adalah lazim (harus).
Ø
Bahasan Keempat
Madzhab Imam Malik RA. yang merupakan pendapat
pertama (qoul qadim) bagi Imam Syafi’I RA., yaitu: Makmum tidak boleh membaca
surat al-Fatihah pada sholat-sholat yang bacaannya dibaca sejara jahr (lantang)
--sesuai dengan ayat tersebut--, dan wajib atas makmum membaca surat al-Fatihah
pada shalat-shalat yang bacaannya dibaca secara sirri (pelan), karena dalam
ayat tersebut tidak menunjukkan keharusan diam ketika tidak mendengarkan bacaan
imam.
Ø
Bahasan Kelima
Objek yang dituju oleh ayat وَإِذَا قُرِئَ
الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ adalah
orang-orang kafir pada permulaan dakwah Rasulullah SAW., dan (objeknya) bukan
merupakan orang-orang Islam. Allah SWT. telah menjelaskankan pada sebelum ayat
ini tentang: bahwa sesungguhnya kaum-kaum kafir meminta ayat-ayat khusus dan
mukjizat-mukjizat khusus. Dan ketika Nabi tidak mendatangkannya kepada mereka,
mereka berkata: “kalau tidak, kami yang memilihkannya”. Kemudian Allah SWT.
memerintahkan Nabi agar menjawab perkataan mereka dengan: “sesungguhnya itu
bukan tugasku untuk menanyakannya pada Tuhanku, dan bukanlah tugasku pula kecuali
aku menunggu wahyu.”. Lalu Allah SWT. menjelaskan kepada Nabi, agar
meninggalkan permintaan mereka akan mukjizat-mukjizat khusus tersebut yang
dimaksudkan untuk meragukan kenabian, karena al-Qur’an sudah merupakan mukjizat
yang sempurna dan lebih dari cukup sebagi tanda kenabian. Barulah Allah
mengungkapkan makna dari penjelasan tersebut dengan firman-Nya: هَذَا بَصَائِرُ مِنْ رَبِّكُمْ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِقَوْمٍ
يُؤْمِنُونَ, dan firman-Nya: وَإِذَا
قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ.
Pada bahasan terdahulu, tentang bacaan
makmum dibelakang imam, bisa dilihat: antara ayat 204 dan ayat sebelumnya, 203
tidak ada hubungannya samasekali dari segi konteks apapun. Bahasan tersebut
dinilai merusak tatanan yang benar. Maka harus ada konteks lain selain bahasan
bacaan makmum dan imam tersebut. Dan konteks yang benar adalah: Ketika
al-Qur’an dianggap sebagai bukti, petunjuk dan rahmat, dari sisi mukjizat yang
menunjukkan atas kebenaran Nabi Muhammad SAW., maka tidak akan jelas kecuali
dengan syarat pengkhususan, yaitu: Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. ketika
membaca al-Qur’an pada orang-orang kafir tersebut, mereka (orang-orang kafir)
diam dan mendengarkannya dengan baik sehingga berhentilah kefasihan bicaranya
ketika itu. Dan ketika jelas bagi mereka bahwa mukjizat itu (al-Qur’an) telah
menunjukkan kebenaran Nabi, mereka meminta lagi mukjizat-mukjizat lain. Dan
dijelaskannya kepada mereka tentang sifat al-Qur’an: هَذَا بَصَائِرُ مِنْ رَبِّكُمْ وَهُدًى
وَرَحْمَةٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ.
Dapat diambil
kesimpulan dan dapat pula ditetapkan, jika memakai konteks yang terakhir atau
bahasan yang kelima, maka dapat ditemukan tatanan yang baik dan menghasilkan
susunan yang benar. Namun jika dimasukkan konteks: bacaan makmum dibalakang
imam, maka dinilai merusak susunan yang baik dan benar tersebut.
Sumber: Tafsir al-Kabir karya Fakhruddin al-Razi
0 komentar:
Post a Comment