28 April 2011

Perilaku Khusnudzon dan Su'udzon



Oleh : Mohamad Bakri

Dalam kehidupan di zaman modern yang serba praktis dan instan seperti sekarang ini, kehidupan yang rasanya sulit untuk menghindarkan dirikita dari perbuatan tercela, yakni perbuatan yang memiliki konsekuensi mendapat dosa dan tentunya akan mendapat siksa, kita dituntut untuk selalu menghindari perbuatan yang tidak terpuji bagaimanapun caranya. Di samping itu kita jugadituntut untuk melakukan perbuatan baik semaksimal mungkin. Dengan kata lain,amar ma’ruf nahi munkar harus senantiasa ditegakkan di manapun dan kapanpun.

Begitu banyak dosa yang kita lakukan tanpa kita sadari, entah itu dosa-dosa besar, maupun dosa-dosa kecil yang terkadang kita sepelekan karena merupakan dosa ringan. Contoh Salah satu dosa kecil yang kerap kita sepelekan adalah su’udzon (prasangka buruk) atau yangbiasa disebut negative thinking. Ketika melakukannya, kita memang terkadang tidak menyadari hal itu. Namun sesungguhnya hati, perasaan, serta fikiran kitatelah berbuat dosa. Sedangkan Allah SWT telah jelas berfirman dalam al-Qur’an,yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka(kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu adalah dosa.” (QS. Al-Hujurat:12)

Sebagaimana tersebut dalam hadits dari Abu Hurairah r.a,bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda: “Takutlah kamu terhadap prasangka. Sebab sesungguhnya prasangka adalah sedusta-dustanya perkataan. (HR.Muslim)

Su’udzon, tanpa benar-benar kita sadari telah menjadipenyakit dalam jiwa para penderita penyakit tersebut. Apabila penyakit tersebut telah mencapai tingkat kronis, maka penderitanya tak akan pernah bisa lepasdari berprasangka. Hidupnya sama sekali tidak tenang. Setiap detik, setiap saatselalu berprasangka buruk terhadap sesama makhluk, terhadap manusia, terhadap teman, bahkan terhadap Tuhan sekalipun memiliki prasangka buruk. Na’udzubillah. Allah SWT telah berfirman :

"Dan kamu telah menyangka dengan sangkaan yang buruk,dan kamu menjadi kaum yang binasa." (QS. Al Fath: 12)

Beranjak dari perkataan Rasulullah SAW bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya, lalu dikaitkan dengan su’udzon yang dikategorikan sebagai penyakit, maka sudah tentu su’udzon ada penawarnya. Dan penawarnya merupakankontradiksi daripada su’udzon itu sendiri, yaitu khusnudzon.
Khusnudzon (prasangka baik) adalah lawan dari su’udzon (prasangka buruk). Sikap khusnudzon dapat menyelamatkan kita dari wabah penyakit su’udzon yang kian merebak di zaman yang penuh sifat curiga seperti saat ini. Dengan sikap khusnudzon, hidup kita akan lebih tenang. Karena segalahal dari yang terkecil hingga yang besar, semuanya kita tanggapi dengan tanggapan yang baik. Khusnudzon dapat membantu kita menyelesaikan masalah apapun dengan sudut pandang positif.

Dalam hubungan kita dengan Tuhan kita, Allah SWTatau yang biasa disebut dengan hubungan vertikal, sudah seharusnya kita selalu memiliki sikap khusnudzon kepada-Nya. Karena Allah-lah yang memberikan kita segalanya yang terbaik untuk kita. Ketika ditimpa musibah, mestinya kita sabardan tidak malah mengeluh kepada Allah SWT. Sabar di sini bukan berarti kita diam dalam keputus-asaan, namun sabar dalam artian berusaha tetap tabah dan berdo’a serta mendekatkan diri kepadaNya, agar Allah menghapuskan derita yangkita alami, dengan tetap berpandangan positif terhadapNya. Rasulullah SAWbersabda:

“Sesungguhnya Allah SWT berkata: “Aku bersama prasangka hamba-Ku terhadap-Ku dan Aku bersamanya apabila ia memohon kepada-Ku”(HR. Muslim)

Lihatlah, betapa demokratisnya Allah dengan hamba-hambaNya. Semuanya diserahkan kepada kita selaku hambaNya. Misalnya,ketika kita berdo’a kepada Allah SWT kemudian tidak kunjung dikabulkan, seharusnya kita bertanya pada hati kita, adakah keyakinan bahwa do’a kita akan dikabulkan olehNya? Bukan malah berkomentar buruk terhadapNya. Melalui hadits ini Rasulullah SAW mengajak kita untuk senantiasa khusnudzon terhadap Allah SWTagar kehidupan kita senantiasa bahagia di dunia maupun di akhirat.

Ibnu Atha’illah as-Sakandary dalam kitab Al-Hikam mengungkapkan bahwa siapa yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah SWT,maka lihatlah seberapa tinggi kedudukan Allah SWT dalam hatinya. Demikian pula siapa yang ingin mengetahui seberapa dekat Allah SWT dengan dirinya, maka lihatlah seberapa dekat Allah SWT dengan hatinya.

Ungkapan Ibnu Atha’illah ini merupakan sebuah bentuk konklusi dari hadits qudsi di atas. Beliau telah menjelaskan caramengetahui derajat dan kadar kedekatan kita dengan Allah SWT. Betapa indahnya jika kita telah dekat dengan Allah SWT. Segala yang tertutup akan terbuka dansegala yang dirahasiakan akan diketahui. Begitu pula sebaliknya, betapa kelamnya hidup kita jika jauh dari Allah SWT.

Kemudian dalam hubungan kita dengan sesama manusia atau yang biasa disebut dengan istilah hubungan horizontal, kita dianjurkanuntuk senantiasa bersikap ramah dan khusnudzon dalam kondisi apapun. Baikketika dizalimi apalagi ketika ditolong oleh sesama manusia. Sebisa mungkin kita mencari alasan untuk meyakinkan hati dan pikiran kita bahwa orang ini adalah orang yang baik, maksud orang itu adalah baik, dia melakukan itu barangkali karena khilaf, barangkali dia tidak bermaksud jahat, dan ribuan alasan lainnya yang menguatkan pikiran positif kita. Dan sesungguhnya kita tidak dianjurkan untuk bersikap su’udzon. Baik ketika dizalimi, ataupun ketika ditolong oleh seseorang.

Meski kita sangat dianjurkan untuk selalu bersikap ramah dan khusnudzon, kita jangan sampai menjadi orang yang lupa hingga kehilangan kewaspadaan. Karena di satu sisi, kita juga dianjurkan untuk tetap berhati-hati terhadap orang yang memiliki niat yang tidak baik. Apalagi jika kita tinggal di kota-kota besar dengan kehidupan yang sangat kejam. Dengan dalih bahwa kita tidak dibenarkan mengamalkan sesuatu secara berlebih-lebihan. Di samping itu, Allah juga tidak menyukai hal yang berlebih-lebihan. Dengan kata lain, jangan sampai kita kehilangan kontrol dalam mengerjakan segala sesuatu. Wallaahu A’lam...

0 komentar:

Post a Comment